1.
Pendahuluan
Dalam pembahasan
sebelumnya kita telah membahas bahwa salah satu komponen penting dalam
pelaksanaan pembelajaran adalah pemahaman peserta didik. Aspek-aspek terkait
dengan pesrta didik adalah fisik dan psikis dalam teori pengembangan moral
Kohlberg memberikan penekanan tentang pentingnya pemahaman guru terhadap
perkembangan moral anak sebagai bagian karakteristik individu. Dengan memahami
perkembangan moral siswa maka guru dapat
mengeksplor, memilih dan menentukan bahan belajar dan strategi, model-model
pembelajaran yang tepat untuk proses pembelajaran yang efektif guna
mencapai hasil yang optimal.
1. Menjelaskan
subtitusi teori perkembangan moral Jean Piaget.
2. Menjelaskan
substansi teori perkembangan moral Kohlberg.
3. Menjelaskan
substansi teori sosial Erik H.Erikson.
4. Menyimpulkan
implementasi keterpadual beberapa teori tentang perkembangan moral dalam
pembelajaran.
Materi
Pengrtian Kecerdasan
Emnsional
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh
psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Meyer dari University
of New Hampshire (Shapiro, 1997:5). Beberapa bentuk kualitas emosional yang
dinilai penting bagi keberhasilan, yaitu:
1.
Empati
2.
Mengungkapkan dan memehami perasaan
3.
Mengendalikan amarah
4.
Kemandirian
5.
Kemampuan menyesuaikan diri
6.
Disukai
7.
Kemampuan menyelesaikan masalah antar pribadi
8.
Ketekunan
9.
Kesetiakawaan
10.
Keramahan
11. Sikap
hormat.
Untuk memberikan pemahaman dasar tentang kecerdasan emosional, Daniel Golemen,
pengarang buku Emotional Intelligence pada bagian buku yang diberi judul
Working with Emotional Intelligence mencoba menjelaskan beberapa konsep keliru
yang paling lazim terjadi dan harus diluruskan. Pertama, kecerdasan
emosi tidak hanya berarti “Berskap Ramah”.Pada saat-saat tertentu yang
diperlukan mungkin bukan “Sikap Ramah” melainkan, mungkin sikap tegas yang
barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang
selama ini dihindari.Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan
kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa, “Memanjakan perasaan-perasaan”,
melainkan mengelola perasaan-perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan
secara tepat dan efektif yang memungkinkan seseorang bekerjasama dengan lancar
menuju sasaran bersama.Tingkat kecerdasan emosi tidak terikat dengan factor
genetis, tidak juga dapat berkembang pada masa kanak-kanak.Tidak seperti IQ
yang hanya berubah sedikit setelah melewati usia remaja, kecerdasan emosi lebih
banyak diperoleh melalui belajar dari pengalaman sendiri, sehingga
kecakapan-kecakapan kita dalam hal ini dapat terus tumbuh (Goleman, 2000:9).
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan EQ akan mampu membuat
anak-anak bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai teman-temannya
di tempat-tempat bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika
ia telah masuk dalam dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga. Dalam sebuah
survey nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja baru,
keterampilan-keterampilan teknik khusus tidak seberapa penting disbanding
kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan bersangkutan (Goleman, 2000:19).
Selain itu keterampilan-keterampilan lainnya adalah;
·
Mendengarkan dan
komunikasi lisan
·
Adaptabilitas dan
tanggapan kreatif terhadap kegagalan dan halangan
·
Manajemen pribadi,
kepercayaan diri, motivasi untuk bekerja, meraih sasaran keinginan
mengembangkan karier dan bangga dengan prestasi yang dicapai
·
Efektivitas kelompok
dan antar pribadi, kerjasama dalam kelompok, keterampilan merundingkan
perbedaan pendapat
·
Efektivitas dalam perusahaan,
keinginan memberi kontribusi, potensi-potensi kepemimpinan.
Salovey dan Meyer mula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
“himpunan bagian dari kecerdasan social yang melibatkan kemampuan memantau
perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah
semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”.
Pendapat kedua memberikan isyarat bahwa keterampilan EQ bukanlah lawan dari
keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara
dinamis, baik pada tingkatan konseptualmaupun empiric.Idealnya seseorang dapat
menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan social emosional.
Barangkali perbedaan paling mendasar antara IQ dan EQ adalah, bahwa EQ tidak
dipenaruhi faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan
para pendidik untuk melanjutkan apa yang telah disediakan oleh alam agar anak
mempunyai peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan. Dengan demikian maka
kecerdasan emosional lebih merupakan hasil dari aktivitas individu dalam melatih
fungsi-fungsi emosional diri sendiri atau oleh orang lain sehingga lebih
merupakan hasil belajar.
B.
Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Pada tahun-tahun terakhir ini sekelompok ahli psikologi sampai pada kesimpulan
dan sepakat dengan Gardner bahwa konsep-konsep lama tentang IQ hanya berkisar
kecakapan linguistik dan dan matemati ayang sempit.Gardner menilai bahwa skala
kecerdasan Stanford-Binet tidak meramalkan kinerja yang sukses.Bahkan menurut
sejumlah hasil penelitian, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi
memiliki peran yang jauh lebih signifikan disbanding kecerdasan
intelektual (IQ).Kecerdasan otak (IQ) barulah sebatas syarat minimal meraih
keberhasilan, namun kecerdasan emosional yang sesungguhnya (hapir seluruhnya
terbukti) mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi.Terbukti, banyak orang
yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, kemudian terpuruk di tengah-tengah
persaingan.Sebaliknya banyak yang mempunyai kecerdasan intelektual biasa-biasa
saja, justru sikses, dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok.Di sinilah
kecerdasan emosi (EQ) membutuhkan eksistensinya.
Atas dasar itulah maka berkembang pandangannya tentang kecerdasan lain yang
lebih luas dari konsep baku IQ yaitu kecerdasan antar pribadi yang lebih
menekankan pada pemahaman tentang perasaan, dan mengakui betapa pentingknya
kemampuan emosional dan kemampuan komunikasi dalam hiruk pikuk kehidupan.
Ahli-ahli psikologi lain termasuk diantaranya Stenberg dan Saovey telah
menganut pandangan yang lebih luas dan berusaha menemukan kermbali kerangka
yang dibutuhkan manusia untuk meraih sukses dalam kehidupannya, dan menuntun
penelitian tentang betapa pentingnnya kecerdasan pribadi atau kecerdasan
emosional.
Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa kecerdasan akademik, nilai-nilai
intelektual yang selama ini merupakan sesuatu yang sangat dibanggakan bahkan
seakan-akan menjadi satu-satunya indikator dalam menentukan keberhasilan dan
keseuksesan seseorang semakin diragukan, bahkan menimbulkan kekecewaan pada
sejumlah orang.Prestasi akademik yang tinggi, predikat juara, ternuata tidak
cukup mampu memberikan bekal untuk dapat merespon berbagai gejolak,
kesulitan-kesulitan, dan berbagai dinamika kehidupan lingkungan yang sangat
dinamis. Berbagai pihak mulai memahami bahwa ada sisi lain yang lebih penting
atau sekurang-kurangnya sama kedudukan dan sama pentingnnya dengan kecerdasan
akademik. Kecerdasan lain selain dari kecerdasan akademik ini justru lebih
banyak menentukan sikap positif seseorang, kemampuan melihat masalah dengan
kelapangan jiwa, kemampuan mengatasi berbagai konflik internal maupun
eksternal, kemampuan mengatasi kegagalan dan pada akhirnya mencapai kesuksesan.
Kecerdasan yang oleh banyak kalangan akan memberikan kekuatan lebih besar adalam
diri seseorang, yang dinamakan kecerdasan emosional.
Goleman menggambarkan beberapa ciri kecerdasan emosional yang terdapat pada
diri seseorang berupa:
1.
Kemampuan memotivasi diri sendiri;
2.
Ketahanan menghadapi frustasi;
3.
Kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan;
4.
Kemampuan menjaga suasana hati agar dan menjaga agar beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdo’a;
Kemampuan-kemampuan ini ternyata mampu memberikan kontribusi yang lebih besar
terhadap diri seseorang untuk mampu mengatasi berbagai masalah kehidupan.
Kemampuan memoivasi diri sendiri merupakan kemampuan internal pada diri
sesesorang berupa kekuatan menjadi suatu energy yang mendorong seseorang untuk
mampu menggerakkan potensi-potensi fisik dan psikologis atau mental dalam
melakukan aktivitas tertentu sehingga mampu mencapai keberhasilan yang
diharapkan.Seperti diketahui bahwa di dalam diri setiap anak terkandung
kekuatan berbagai potensi yang tidak secara otomatis dapat didayagunakan oleh
seseorang untuk mencapai sesuatu.Sebagai contoh, seseorang memiliki kemampuan
menyelesaikan 50 item soal dalam suatu latihan dalam waktu yang ditentukan.
Namun daam kenyataannya anak tersebut hanya mampu menyelesaikan separoh dar
latihan soal yang diberikan, selebihnya tidak dikerjakan dengan alasan merasa
lelah, jenuh atau ingin melakukan aktivitas lain. Demikian pula mungkin Anda
seringkali menyaksikan seorang anak belajar dirumah hanya beberapa saat dari
waktu yang disediakan, meskipun orang tuanya mendampingi mereka, akhirnya
pekerjaan rumah yang diberikan tidak dapat dikerjakan seluruhnya. Pada sisi
lain Anda juga sering menyaksikan seseorang anak belajar atau mengerjakan
tugas-tugas latihan secara tekun selama berjam-jam tanpa mau beranjak dari
tempat duduknya dengan menunjukkan wajah yang gembira. Seorang pekerja mampu
mengerjakan pekerjaannya secara tekun dan disiplin tanpa ada pengawasan atau
perintah, sehingga tugas-tugas yang diberikan kepadanya mampu mencapai hasil
yang optimal sesuai yang ia harapkan. Gambaran tersebut adalah sebagan dari
contoh kemampuan seserang memotivasi dirinya sehingga ia mampu menjadikan
kekuatan dalam dirinya sebagai energi yang mampu mengoptimaliasai kekuatan dirinya
untuk mencapai keberhasilan dan sukses yang diinginkan.
Walaupun kemampuan memotivasi diri sendiri menjadi sesuatu yang sangat penting
sebagai wujud dari kemandirian anak, namun dalam proses perkembangannya anak
masih memerlukan peran orang tua untuk memfasilitasi peningkatan motivasi
mereka. Untuk itu sebagai orang tua maupun guru dapat membantu mengembangkan
kemampuan menumbuhkan motivasi diri anak melalui;
a.
Mengajarkan anak mengharapkan keberhasilan
b.
Menyediakan kesempatan bagi anak untuk menguasai lingkungannya
c.
Memberikan pendidikan yang relevan dengan gaya belajar anak
d.
Mengajarkan anak untuk menghargai sikap tidak mudah menyerah
e.
Mengajarkan anak pentingnya menghadapi dan mengatasi kegagalan
Dalam melaksanakan proses panjang kehidupan, bahkan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari seseorang tidak mungkin melepaskan diri dari masalah. Kemampuan
yang harus dikembangkan pada setiap anak utamanya bukan kemampuan untuk
menghindari terjadinya masalah akan tetapi kemampuan melihat secara jernih
setiap masalah uang dihadapi, untuk selanjutnya mampu memobilasi kekuatan diri
dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut. Harahap (1987)
memaparkan berbagai kasus yang menggambarkan bagaimana seseorang yang
menghadapi masalah, kemudian sanggup mengkaji kembali masalah-masalah yang
dihadapinya serta menemukan jalan keluar yang lebih baik melalui sebuah buku
yang ditulisnya dengan judul “Jadikanlah Masalah Sebagai Sahabat”. Dalam resume
buku tersebut diungkapkan bahwa sepanjang hidup ini kita selalu menghadapi
masalah. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang sulit, dan bahkan ada yang
musykil.Dapatkah kita membayangkan bila hidup ini tanpa masalah.Masalah yang
kecil mungkin dapat kita selesaikan dengan mudah? Masalah yang rumit, yang
kalau tidak dapat diselesaikan dapat berkembang biak, berakan, bercucu, bahkan
menjadi kusut. Masalah akan membantu Anda menjadi lebih dewasa, masalah akan
dapat membantu daya piker Anda, bahkan membantu menjadi orang bijaksana.
Kemampuan menghadapi masalah akan mendorong anak untuk memiliki daya tahan yang
lebih tinggi bilamana suatu saat aia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang
lebih kompleks dan rumit yang mungkin menyeret dirinya menjadi frustasi. Bilamana
keadaan yang buruk terjadi, maka anak diharapkan dapat mengendalikan diri,
menata emosinya sehingga tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan
dirinya sendiri maupun orang lain.
Sejumlah pandangan memberikan saran untuk dapat mengendalikan emosi agar tidak
berkembang kearah negative antara lain pentingnnya pengendalian diri melalui
pemikiran yang jernih untuk menyadari perasaan diri sepenuhnya, tidak tenggelam
dalam permasalahan serta tidak mudah pasrah. Kesadaran diri adalah kecakapan
yang diusahakan untuk diperkuat oleh sebagian besar perangkat psikoterapi,
karena seperti dikeukakan oleh Freud bahwa sebagian besar kehidupan emosional
berada di alam bawah sadar; perasaan-perasaan bergejolak dalam diri kita
tidaklah senantiasa melintasi ambang kesadaran.
Bilamana pengenalan diri dapat dilakukan dengan baik, maka akan sangat membantu
seseorang untuk dapat menguasai diri, yakni kemampuan untuk menghadapi badai
emosi terutama berupa nafsu seperti amarah yang meluapluap, cemas yang
berlebihan, depresi berat dan gangguan emosional yang berlebihan. Pengendalian
terhadap seseorang yang amarah misalnya dapat dilakukan dengan menenangkan diri
dan kemudian dengan cara yang konstruktif / terarah menghadapi orang-orang
tersebut untuk menyelesaikan permasalahannya. Demikian pula dengan kecemasan
yang seringkali menjurus pada kekhawatiran kronis harus dipahami dengan hati
yang jernih bagaimana proses kecemasan itu terjadi.
Upaya lain yang dapat mengendalikan agar seseorang tidak terjebak dalam
kecemasan, bersikap pasrah atau depresi adalah melawan dorongan hati. Tidak ada
keterampilan psikologis yang lebih penting selain melawan dorongan hati, karena
ia merupakan akar segala kendali emosi, kemudian seseorang harus mempunyai
harapan dan optimism dalam kerangka bagaimana seseorang memandang keberhasilan
dan kegagalan mereka.
Mihaly Csikszentmihalyi, ahli psikologi dari university of Cicago mengumpulkan
kisah-kisah puncak kinerja penelitiannya dan melukiskan keadaan dimana
seseorang merasa sangat senang sewaktu melakukan kegiatan yang disukainya yang
disebut flow. Keadaan flow merupakan puncak
kecerdasan emosional. Flowmerupakan keadaan batin yang menandakan
seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok. Model flow menyiratkan
bahwa mencapai penguasaan keterampilan atau ilmu pengetahuan apapun idealnya
harus berlangsung secara alami, sewaktu anak tertarik pada bidang-bidang yang
secara spontan mengasyikkannya.Model ini sangat layak dikembangkan di
sekolah-sekolah untuk menghindari kebosanan sekaligus mengurangi rasa kecemasan
di kalangan anak (DePorter, 2000).
Kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan
menjadi ciri dari kecerdasan emosi. Kematangan berpikr anak, tidak dapat
sekedar ditunjukkan oleh kemampuan nalar, akan tetapi justru lebih banyak
ditunjukkan melalui isyarat-isyarat emosional. Ketika anak menghadapi sukses
seringkali kita melihat mereka mengaktualisasikan dengan sikap yang
berlebih-lebihan dan tidak jarang lupa dengan lingkungannya,
Dalam pembahasan emosi faktor empati merupakan hal penting yang harus
dikembangkan, karena dengan kemampuan berempati seseorang akan dapat mengetahui
bagaimana perasaan orang lain.Itulah sebabnya Martin Hoffman berpendapat bahwa
akar moralitas ada di dalam empati, dan dari studi yang dilakukan di Jerman dan
Amerika menemukan bahwa semakin empatik seseorang, maka semakin besar
kecenderungan seseorang mendukung prinsip moral.Dibalik itu ditemukan pula
bahwa orang-orang yang dengan tega melakukan berbagai kejahatan seperti
pemerkosaan terhadap anak-anak, sosiopatternyata tidak memiliki empati.
Kemampuan-kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial
perlu ditumbuhkembangkan pada setiap anak agar mereka secara dini dapat
diterima dan tidak dikucilkan oleh orang lain dan memiliki kepekaan sosialyang
tinggi terhadap orang lain. Hal ini sangat dimungkinkan untuk dilatih atau
diajarkan melalui aktivitas-aktivitas kongkrit mulai dari hal-hal kecil dan
sederhana yang ada di lingkungan anak.
Kemampuan menjaga suasana ahati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir juga merupakan salah satu ciri dari kecerdasan emosional.
Kemampuan ini terkait dengan kemampuan mengatasi masalah, karena seseorang yang
telah mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi akan lebih dewasa dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang lebih berat. Ketika seseorang dihadapkan
pada persoalan-persoalan yang berat, misalnya duka yang sangat mendalam,
kekecewaan yang berat secara tidak sadar emosinya dapat mengalahkan nalar.
Bilamana hal itu terjadi sangat mungkin seseorang melakukan tindakan di luar
control nalarnya yang mungkin dapat merusak keselamatan dirinya. Sebagai contoh
ketika seseorang akan membantu rekannya terjatuh dari kendaraan, kemudian ia
langsung memberikan pertolongan tanpa menyadari bahwa ada bahaya besar dari
arah lain yang dapat mencelakakan dirinya. Contoh lain, ketika seorang rekan
terjatuh kesungai yang dalam kemudian rekan yang lainnya langsung menolong
tanpa menggunakan alat bantu apapun, padahal ia tidak bias berenang. Keadaan
ini tentu akan sangat membahayakan dirinya.
Dalam berbagai kasus sering diungkapkan akibat-akibat yang terjadi karena
seseorang tidak mampu mengendalikan suasana hati dalam menghadapi beban stress.
Ketika anak kehilangan orang tua yang sangat ia cintai yang selama ini
dirasakannya sebagai tempat ia harus mengadukan segala persoalan, sebaga
penanggung jawab segala kebutuhan tiba-tiba hilang dalam suatu peristiwa yang
tragis, bencana dan sebagainya. Hal ini tentu menuntut keterampilan emosional
yang tinggi untuk mengendalikan diri.
Goleman memberikan perhatian yang besar terhadap kebutuhan seseorang untuk
mengakui adanya kekuatan yang lain yang lebih agung, lebih kuasa di luar
dirinya. Itulah sebabnya menurut Goleman kemampuan berdoa juga merupakan ciri
yang ada pada kecerdasan emosional. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional
akan dapat melihat persoalan-persoalan secara jernih, berupaya mengatasi
perosalan-persoalan tersebut dan berharap adanya kekuatan penolong Yang Maha
Pencipta. Adakalanya seseorang yang telah mampu mencapai sukses, kemudian ia
kembali berada dalam kehampaan, tidak mengerti lagi apa yang harus diperbuat.
Kesadaran akan adanya eksistensi berupa kemampuan untuk mampu menemukan arah
kehidupan yang benar ketika dirinya mencapai sukses oleh Ari Ginanjar Agustian
merupakan bentuk kecerdasan melebihi kecerdasan emosional tetapi memadukan dua
kecerdasan tersebut, yang disebutnya Kecerdasan Emosional Spiritual (ESQ).
Ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil mendaki kesuksesan,
acapkali seseorang disergap denga perasaan ‘kosong’ dan hampa dalam celah batin
kebihdupannya. Setelah prestasi uncak dapat dipijak, ketika semua pemuasan
kebendaan telah diraih, setelah uang hasil jerih usaha berada dalam genggaman,
ia tidak lagi tahu kemana dia harus melangkah, untuk apa semua prestasi itu
diraihnya.Di posisi inilah ESQ tampil menjawab. ESQ sebagai sebuah metode dan
konsep yang jelas dan pasti adalah jawaban dari kekosongan batin sang jiwa
(Agustian, 2007).
Pembahasan berkenaan dengan ESQ merupakan bagian penting untuk dikasi dan
dipahami secara mendalam. Tanpa mengesampingkan eksistensi kajian ESQ, bagian
ini lebih difokuskan pada uraian tentang EQ, dengan melakukan pembahasan
bersama tentang kegunaan dan penerapannya dalam proses pembelajaran.
C.
Emosi dan Kegunaannya
Dalam proses pembelajaran konvensional, aspek emosional secara eksplisit tidak
mendapat tempat dalam pembahasan dan uraian materi perkuliahan atau pelajaran
sehingga tidak menjadi bagian yang harus dipelajari. Padahal dalam
kenyataannya, keterampilan-keterampilan emosional seperti diungkapkan
sebelumnya dapat dipelajari dan dilatih kepada anak karena disadari banyak yang
dapat dilakukan guru, orang tua dan orang-orang dewasa lainnya dalam membantu
anak mewujudkan kecerdasan emosinya.Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
anak-anak yang dilatih emosinya pada permulaan masa kanak-kanak sungguh-sungguh
mengembangkan jenis keterampilan sosial ini di kemudian hari, keterampilan
sosial mampu membantu mereka untuk diterima oleh rekan-rekan sebaya dan untuk
menjalin persahabatan-persahabatan (Gottman & DeClaire, 1997:29).
Kecerdasan emosi merupakan bagian dari aspek kejiwaan seseorang yang paling
mendalam, dan merupakan satu kekuatan, karena dengan adanya emosi itu manusia
dapat menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah manusiawi.Emosi
menyebabkan seseorang memiliki rasa cinta yang sangat dalam sehingga bersedia
melakukan suatu pengorbanan yang sangat besar sekalipun, walau kadang-kadang
pengorbanan itu secara lahiriah tidak memberikan keuntungan langsung pada dirinya
bahkan mungkin mengorbankan dirinya sendiri. Kekuatan emosi seringkali
mengalahkan kekuatan nalar, sehingga ada suatu perbuatan yang mungkin secara
nalar tidak mungkin dilakukan seseorang, tetapi karena kekuatan emosi kegiatan
itu dilakukan, seperti halnya peristiwa dari kasus yang diungkapkan di awal
tulisan Daniel Goleman, dimana karena cinta teramat kuat mendorong orang tua
secara spontan memilih mengutamakan menyelamatkan anak tercintanya mengalahkan
hasrat menyelamatkan diri sendiri.
Para ahli sosiobiologi menyatakan keunggulan perasaan dibandingkan nalar,
sehingga pada saat-saat tertentu emosi ditempatkan sebagai titik pusat jiwa
manusia.Menurut para ahli tersebut emosi menuntun kita menghadapi saat-saat
kritis dan tugas-tugas yang riskan bila hanya diserahkan pada otak.Oleh karena
itu pandangan mengenai kodrat manusia yang mengabaikan kekuatan emosi, jelas
merupakan pandangan yang amat picik. Sebutan Homo Sapiens, merupakan hal
yang keliru dalam pola pemahaman serta visi baru yang ditawarkan oleh sains
saat ini tentang emosi dalam kehidupan kita. Hal-hal yang berkaitan dengan
pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya bahkan
seringkali lebih penting daripada nalar. Mereka mengemukakan bahwa “kita sudah
terlampau lama menekankan pentingnya nilai dan makna rasional murni yang
menjadi tolok ukur IQ dalam kehidupan manusia, padahal kecerdasan tidak akan
berarti jika tidak didukung oleh kekuatan emosi”.
Karena emosi merupakan suatu kekuatan yang mengalahkan nalar, maka harus ada
upaya untuk mengendalikan, mengatasi, dan mendisiplinkan kehidupan emosional,
dengan memberlakukan aturan-aturan guna mengurangi ekses-ekses gejolak emosi,
terutama nafsu yang terlampau bebas dalam diri manusia yang seringkali mengalahkan
nalar. Pengembangan emosi di kalangan anak-anak akan membantu mereka mengambil
keputusan dan dapat menilai seseuatu mana yang harus dilakukan dan mana yang
tidak boleh dilakukan. Dengan demikian berarti pula melindungi mereka dari
berbagai propaganda dan slogan yang tidak sesuai dengan diri dan nilai-nilai
yang dianutnya.
Manusia secara universal memiliki dua jenis tindakan pikiran, yaitu tindakan
pikiran emosional (perasaan) dan tindakan berpikir rasional (berpikir). Kedua
cara pemahaman yang secara fundamental berbeda ini bersifat saling mempengaruhi
dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pertama pikiran rasional, adalah
model pemahaman yang lazimnya kita sadari : lebih menonjol kesadarannya,
bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi. Tetapi bersamaan dengan
itu ada system pemahaman yang lain: yang implusif dan berpengaruh besar bila
kadang-kadang tidak logis, yaitu fikiran emosional. Dikotomi emosional /
rasional kurang lebih sama dengan istilah awam antara “hati” dan “kepala”.
Mengatakan sesuatu yang benar di dalam hati merupakan tingkat keyakinan yang
berbeda yang cenderung merupakan kepastian lebih mendalam daripada mengaggapnya
benar dengan menggunakan akal.
Kedua fikiran tersebut, yang emosional dan yang rasional, pada umumnya bekerja
dalam keselarasan yang erat, saling melengkapi dalam mencapai pemahaman guna
mengarahkan seseorang menjalani kehidupan duniawi.Biasanya ada keseimbangan
antara pikiran emosional dan pikiran rasional, dimana emosi memberi masukan dan
informasi kepada pikiran rasional, dan pikiran rasional memperbaiki dan
terkadang memvote masukan-masukan emosi tersebut.Nampun pikiran emosional dan
rasional merupakan kemampuan-kemampuan yang semi mandiri, masing-masing
mencerminkan kerja jaringan sirkuit yang berbeda, namun saling terkait di dalam
otak.Di dalam banyak atau sebagian besar peristiwa, pikiran-pikiran ini
terkoordinasi secara istimewa.Perasaan sangat penting bagi pikiran, dan pikiran
sangat penting bagi perasaan.
Jika dipahami dari struktur biologis, bahwa masalah-masalah emosi adalah
bersumber dari amigdala yang merupakan bagian penting dari otak.Jika amigdala
dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya, maka hasilnya manusia tidak
memiliki kemampuan menangkap makna emosional suatu peristiwa atau yang disebut
“kebutuhan afektif”.Dan karena kehilangan bobot emosional, maka
peristiwa-peristiwa menjadi tidak memiliki makna, misalnya menarik diri dari
hubungan antar manusia, tidak lagi mengenali sahabat bahkan ibunya sendiri, tetap
pasif menghadapi kecemasan.Disamping perasaan nafsu juga tergantung pada
amigdala. Amigdala menempati kedudukan strategis dalam kehiduppan mental,
semacam penjaga psikologis, ia juga dapat menyimpan ingatan dan reporter
respons, sehingga seseorang dapat bertindak tanpa betul-betul ia menyadari
menapa dia melakukan sesuatu.
Uraian-uraian di atas menyiratkan betapa pentingnya keseimbangan antara akal
dan emosi, menyesuaikan kepala dan hati, dan bilamana keseimbangan ini goyah
akan terjadi perseteruan nalar dan perasaan. Yang mendasari semua ini adalah
bagaimana seseorang dapat memahami penggunaan emosi secara cerdas sehingga dia
akan dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan lebih baik dalam suatu
keseimbangan.
D.
Kecakapan-kecakapan Emosional
Upaya-upaya yang selama ini hamper seluruhnya diarahkan dalam meningkatkan
standar akademis, pada akhir-akhir ini semakin dirasakan kepincangannya.
Kecemasan yang sangat mendalam terhadap diperolehnya nila-nilai buruk anak-anak
dalam sejumlah mata pelajaran, dikejutkan lagi oleh kecemasan lain yang lebih
besar lantaran banyak kasus siswa yang mengejutkan justru tidak berkaitan
dengan nilai-nilai akademis tersebut, misalnya bagaimana seorang siswa dengan
tega membunuh teman dekatnya sendiri. Kekurangan lain yang menimbulkan
kecemasan lebih besar tersebut adalah buta emosi. Kekurangan baru berupa
buta emosi yang dapat menimbulkan ekses-ekses negative lebih besar ketimbang
rendahnya standar akademis justru belum dipertimbangkan dalam kurikulum sekolah
yang baku.
Tanda-tanda kekurangan perhatian terhadap aspek emosi terlihat dari banyaknya
peristiwa-peristiwa kekerasan dikalangan siswa, meningkatnya kekacauan masa
remaja dan beberapa ekses perilaku negative lainnya.Di Amerika Serikat dalam
tahun 1990 penahanan kaum remaja karena terlibat kasus perkosaan meningkat
menjadi dua kali lipat, laju pembunuhan anak muda meningkat menjadi empat
kalinya. Dalam dua dasawarsa yang sama, laju bunuh diri remaja meningkat tiga
kali lipat, demikian juga jumlah anak-anak berumur di bawah empat belas tahun
yang menjadi korban pembunuhan. Masih banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan
kecenderungan meningkatnya perilaku-perilaku negative dan criminal yang sangat
meresahkan.
Penyebab paling lazim dari berbagai peristiwa di atas adalah terutama pada
anak-anak adalah penyakit mental, utamanya berupa gejala-gejala depresi.
Berdasarkan penilaian orang tua dang utu pada tahun 1970-an dengan keadaan pada
akhir 1980-an pada anak-anak amerika usia 7 hingga 17 tahunan rata-rata anak
semakin parah dengan masalah spesifik berikut: (1) menarik diri dari pergaulan
atau masalah sosial, (2) cemas dan depresi, (3) memiliki masalah dalam hal
perhatian dan berpikir (4) nakal atau agresif. Depresi atau kemerosotan emosi
merupakan gejala universal kehidupan modern, dan keadaan ini akan semakin parah
bilamana keluarga tidak lagi dapat berfungsi dengan baik dalam meletakkan
landasan yang kuat bagi anak.
Tinjauan baru terhadap penebab depresi pada kaum muda menunjukkan dengan jelas
adanya cacat dalam dua bidang keterampilan emosional, yaitu keterampilan
membina hubungan, dan cara menafsirkan kegagalan yang memicu timbulnya depresi.
Cara menafsirkan kegagalan hidup secara pesimistik tampaknya memperbesar dasa
tak berdaya dan putus asa.Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa meningkatnya
depresi sangat erat kaitannya dengan peristiwa politik seperti peningkatan yang
terjadi setelah perang saudara.Namun apapun penyebabnya, depresi pada orang
muda merupakan masalah yang mendesak, dan depresi pada anak-anak, bukan sekedar
perlu diobati melainkan harus dicegah.
Beberapa pendapat menunjukkan menghilangkan atau paling kurang menurunkan
depresi pada anak, antara lain dapat dilakukan dengan cara melihat dan memahami
kesulitan itu sendiri, untuk terampil menjalin persahabatan, bergaul lebih baik
dengan orang tua, dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial yang
diminati. Dan yang lebih penting lagi adalah mengubah pikiran-pikiran yang
menekan, yang oleh pakar depresi (Kovacs) disebut vaksinasi psikologi.
Depresi telah membawa seseorang seringkali melakukan seseuatu yang sesungguhnya
merugikan dirinya sendiri, misalnya mendorong sejumlah orang untuk minum
minuman keras, padahal efek metabolic alcohol justru seringkali hanya
memperburuk depresi itu sendiri.Hasil dari salah satu penelitian menemukan
lebih dari separo pasien yang diobati di sebuah kllikin karena kecanduan kokain
pernah didiagnosis menderita depresi berat sebelum mereka kecanduan, dan
semakin parah depresi sebelumnya, semakin kuat kecanduannya.
Cara yang paling terbaik untuk mencegah terjadinya berbagai tindakan kekerasan,
penyalahgunaan obat terlarang sebagai dampak dari depresi adalah dengan
mengembangkan keterampilan emosional melalui penemuan ketahanan diri pada
anak.Keterampilan ini mencakup kepandaian bergaul yang membuat orang tertarik
pada mereka, keyakinan diri dan sikap optimis yang terus menerus dalam
menghadapi kegagalan dan kekecewaan, kemampuan untuk dengan cepat bangkit dari
kegagalan, dan sikap santai.Sebuah kemampuan penting untuk mengendalikan
dorongan hati adalah mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan, dan
belajar membuat keputusan emosional yang lebih baik dengan terlebih dahulu
mengendalikan dorongan dan mengidentifikasi konsekuensi sebelum melakukan suatu
tindakan. Pada sisi lain perlu penjelasan dan aturan-aturan yang tegas tentang
hak-hak, kewajiban serta segala sesuatu yang dapat merugikan dan membahayakan
diri anak.
E.
Penerapan Kecerdasan Emosional
Daya-daya emosi yang dimilik oleh orang-orang dewasa sesungguhnya berakar dari
masa kehidupan kanak-kanak.Akar perbedaan emosi meskipun untuk sebagian
bersifat biologis dapat pula ditelusuri dari kehidupan masa kanak-kanak dan
dari dua dunia emosi terpisah yang dihuni untuk laki-laki dan yang dihuni oleh
anak-anak perempuan ketika mereka tumbuh dewasa.Perbedaan-perbedaan perlakuan
orang tua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan ketika masih kanak-kanak
dan perbedaan pandangan laki-laki dan peremuan itu sendiri terhadap suatu
persoalan memperkuat sinyal perbedaan ketika mereka dewasa.Carol Gilligan
mengungkapkan perbedaan kunci antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
bangga karena kemandirian dan kemerdekaannya yang berpikir ulet dan mandiri,
sementara anak perepuan melihat dirinya sebagai bagian dari jaringan
hubungan.Oleh karena itu laki-laki terancam bilamana ada apa-apa yang dapat
menantang kemandiriannya, sementara perempuan lebih terancam oleh putusnya hubungan
yang mereka bina.
Perbedaan-perbedaan dalam pendidikan emosi menghasilkan
keterampilan-keterampilan yang berbeda, anak perempuan mahir membaca baik
sinyal komunikasi verbal maupun nonverbal, mahir mengungkapkan dan
mengkomunikasikan perasaan-perasaanna, dan anak laki-laki menjadi cakap dalam
meredam emosi berkaitan dengan perasaan rentan, salah, takut, dan sakit. Jika
dilihat lebih jauh dalam kehidupan berumah tangga, maka pada umumnya wanita
memasuki jenjang perkawinan dengan sikap siap untuk berperan sebagai menejer
emosi, sedangkan pria datang dengan pemhaman yang jauh lebih sempit tentang
pentingnya tugas untuk membantu mempertahankan kelanggengan hubungan. Para
suami umumnya kurang memahami apa yang dikehendaki oleh isteri dari mereka. Mereka
ingin memenuhi kebutuhan isterinya yang lebih besar, sementara sesungguhnya
isterunya hanya menginginkan meluangkan waktu untuk berbicara bersama.Akibat
perbedaan-perbedaan emosi antara suami dan istreri tersebut akhirnya
menimbulkan keluhan-keluhan dan ketidakcocokan dalam kehidupan berkeluarga.
Kegagalan dalam mengatasi hal-hal ini dapat menyebabkan pasangan suami isteri
akan rawan terharap keretakan-keretakan emosional yang pada akhirnya dapat
menghancurkan hubungan mereka.
Seringnya menjadikan pasangan sebagai korbang yang tak bersalah, atau amarah
uang besar adalah ciri pasangan yang perkawinannya mengalami gangguan. Stress
batin dan sikap pesimis dari salahs atu pasangan akan membuka lebar segala
kritik dan penghinaan dalam menghadapi pasangannya. Hasil sikap yang
menyakitkan ini memunculkan krisis perkawinan yang tak kuncung reda sebab
sikap-sikap itu memicu terjadinya pembajakan emosi (flooding) sehingga
akan lebih sulit untuk pulih dari amarah serta sakit hati yang ditimbulkannya.
Setiap emosi yang kuat berakar dari adanya dorongan untuk bertindak, dan
mengelola dorongan itu sangat penting bagi kecerdasan emosional.Untuk meredakan
ketegangan yang terjadi perlu penenangan diri sehingga tidak mengarah pada
terjadinya flooding, mendengarkan pembicaraan pasangan secara
sungguh-sungguh tanpa bersifat defensif. Kesemuanya ini tentu bukan hal yang
mudah, akan tetapi akan memerlukan waktu dan perlu latihan-latihan. Oleh sebab
itu dapat dikemukakan bahwa obat penawar terhadap hancurnya perkawinan adalah
perlu upaya perbaikan pendidikan dalam kecerdasan emosional.
Dalam berbagai bentuk kegiatan baik pada perkantoran, pada perusahaan, rumah
sakit penerapan kecerdasan emosional menjadi bagian yang paling penting. Jika
hal itu dapat diterapkan pada perkantoran atau perusahaan-perusahaan
orang-orang merasa lebih terbuka dan leluasa mengutarakan keluhan-keluhan
sebagai kritik yang membangun,terciptanya suasana dimana keragaman dihargai dan
dapat menjalin jaringan kerja yang efektif. Pada rumah sakit dokter dan perawat
mau berempati, meu menyesuaikan diri dengan pasien dan mau menjadi pendengar
dan penasehat yang baik.Kesemua ini menyiratkan betapa kecerdasan emosional itu
menjadi penting untuk diterapkan dalam semua aktivitas yang dilakukan baik
secara pribadi maupun dalam aktivitas kelompok.
Dalam proses pembelajaran, penerapan kecerdasan emosional dapat dilakukan
secara luas dalam berbagai sesi, aktivitas dan bentuk-bentuk spesifik
pembelajaran. Pemahaman guru terhadap kecerdasan emosional serta pengetahuan
tentang cara-cara penerapannya kepada anak pada saat ini merupakan bagian
penting dalam rangka membantu mewujudkan perkembangan potensi-potensi anak
secara optimal.Karena itu berikut diuraikan benuk konkrit upaya mengembangkan
kecerdasan emosional anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar