BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pragmatik adalah kajian bahasa yang mencakup tataran
makrolinguistik. Hal ini berarti bahwa pragmatik mengajihubungan unsur-unsur
bahasa yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa, tidak hanya aspek kebahasaan
dalam lingkup ke dalam. Secara umum, pragmatik diartikan sebagai kajian bahasa
yang dikaitkan dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa dalam
hubungannya dengan pengguna bahasa (Eva, 2012: 1).
Cruse dalam Eva (2012: 1) mendefinisikan pragmatik
sebagai aspek-aspek yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan
oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang
digunakan dan (b) juga muncul secara alamiah dari dan bergantung pada
makna-makna yang dikodekan secara konvensionaldengan konteks tempat penggunaan
bentuk-bentuk tersebut (penekanan ditambahkan).
Levinson (1983: 9) mendefinisikan pragmatik sebagai
studi bahasa yang mempelajari studi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang
dimaksud tergramtisasi dan termodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari
struktur bahasanya (Eva, 2012: 1). Menurut Yule dalam Eva (2012: 2), pragmatik
merupakan studi tentanghubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakaian
bentuk-bentuk linguistik.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi
penggunaan bahasa manusia yang padda dasarnya sangat ditentukan oleh konteks
yang mewadahi (situasi) dan melatarbelakangi bahasa itu.
Pragmatik memiliki kajian atau bidang telaah
tertentu yaitu deiksis, praanggapan (presupposition),
tindak tutur (speech acts), dan
implikatur percakapan (conversational
implicature) (Kaswanti Purwo, 1990:17). Selanjutnya pembahasan akan
dilakukan terhadap kajian atau bidang pragmatik yang meliputi praanggapan,
implikatur, serta inferensi deiksis.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai latar belakang tersebut maka dapat dituliskan
rumusan maslah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan praanggapan (presuposition) implikatur?
2.
Bagaimana kaitan antara dieksis, referensi dan
inferensi?
3.
Bagaimana contoh analisis praanggapan
(presuposition), implikatur, dan inferensi serta bentuk-bentuk deiksis?
1.3 Tujuan
1.
Memahami pengertian praanggapan (presuposition),
implikatur, dan inferensi.
2.
Memahami keterkaitan dieksis, referensi dan
inferensi.
3.
Mampu menganalisi praanggapan (presuposition),
implikatur, dan inferensi serta
bentuk-bentuk dieksis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
praanggapan (presuposition)
dan implikatur.
1. Praanggapan
a.
Pengertian
Secara
etimologi praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang
dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga
sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia
sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang
dibicarakan.
Nababan
dalam Eva (2012: 11) mengemukakan bahwa praanggapan sebagai dasar atau
penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk
bahasa yang mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan
sebaliknya membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dipakainya
untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
Menurut
Lubis dalam Eva (2012: 11-12) Praanggapan pragmagtik membedakan dua konsep,
yakni (1) pranggapan semantik, dan (2) praanggapan pragmatik. Praanggapan
semantik adalah bila suatu pernyataan dapat ditarik praanggapannya melalui
leksikon. Praanggapan pragmatik adalah bila suatu pernyataan dapat ditarik
praanggapannya melalui konteks. Jadi, suatu ujaran tidak selalu dapat
ditanggakap maknanya hanya dengan mengetahui ujaan itu saja, tetapi ujaran itu
harus ditambah dengan pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pesapa sehingga
makna sebuah ujaran dapat dipahami.
Praanggapan
telah didefinisikan dengan berbagai macam cara, namun secara umum berarti
asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan
linguistik tertentu (Cummings, 2007: 42). Menurut Yule dalam Eva (2012: 12)
Praanggapan adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian
sebelum menghasilkan suatu tuturan.
Dari
kutipan pendapat para ahli tersebut dapat diartikan bahwa praanggapan merupakan
suatu anggapan awal yang secara tersirat dimiliki oleh sebuah ungkapan
kebahasaan sebagai wujud tanggapan awal pendengar dalam merespon suatu ungkapan
kebahasaan.
Contoh: “ Iqbal telah berhenti mengayuh sepedanya”
Dalam
kalimat tersebut terkandung beberapa praanggapan yang mendukung arti kalimat
itu sendiri, yaitu:
(a)
Iqbal tentunya memiliki sepeda.
(b)
Sebelum pernyataan itu diungkapkan sebelumnya Iqbal
pastilah sedang mengayuh sepedanya.
“Kayawan
pendiam itu paling rajin dibanding yang lain”
Praanggapan
yang bisa saja muncul dari kalimat tersebut adalah seorang karyawan yang
pendiam namun rajin. Apabila pada kenyataannya memang ada seorang karyawan yang
pendiam dan rajin, ukuran ini dapat dinilai benar atau salahnya. Sebaliknya
apabila di tempat kerja tidak ada karyawan yang pendiam dan rajin, makaukuran
tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya.
b. Jenis-Jenis Praanggapan
Menurut Gorge Yule
dalam Eva (2012: 14) Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis
praanggapan, yaitu :
1) Praanggapan Eksistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah praanggapan
yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/
jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit (pasti). Contoh: (a) Orang itu berjalan; (b) Ada
orang berjalan.
2)
Praanggapan Faktif
Presuposisi
(praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat
dianggap sebagai suatu kenyataan.
Contoh: (a) Saya
gembira bahwa ini berakhir => praamggapan
dalam tuturan ini disebabkan kata “gembira” yang diasumsikan “bahwa ini
berakhir”. (b) Kami menyesal mengatakan kepadanya => kata “Menyesal” diasumsikan sebagai bentuk kenyataan bahwa
“kami” tidak berniat mengatakan hal itu.
(Eva, 2012: 15)
3) Praanggapan Leksikal
Presuposisi
(praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara
konvensional (secara umum) ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna
lain (yang tidak dinyatakan) dipahami. Contoh: (a) Dia Berhenti Bekerja => Kata “berhenti” secara leksikal
mempunyai makna tidak beraktivitas. Sehingga kata tersebut mempunyai
praanggapan bahwa “dulu dia pernah bekerja”.
4) Praanggapan Non-faktif
Presuposisi
(praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar. Contoh: (a) Andi
membayangkan bahwa dia kurus; (b)
Andi tidak kurus. (c) Tika berpura-pura sakit.
5) Praanggapan Struktural
Presuposisi
(praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis
sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu
sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya,
secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana)
seudah diketahui sebagai masalah. Contoh:
(a) Di mana Anda membeli sepeda itu?; (b) Kapan dia pergi?
6) Praanggapan Konterfaktual
Presuposisi
(praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang dipraanggapkan tidak hanya tidak
benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan
kenyataan. Contoh: (a) Seandainya dia mempunyai ijazah
SMA, pastilah akan memperoleh pekerjaan yang lebih layak. (b) Andai kata kamu
ikut kuliah mingu lalu, pasti kamu tidak akan mengikuti ujian susulan.
2. Implikatur (Makana Tersirat)
Konsep
implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memcahkan
persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.
Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang
dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara
harfiah Brown dan Yule (1983:1). Sebagai contoh, kalau ada ujaran panas
disini bukan? Maka secara implisit/didalamnya penutur menghendaki agar
mesin pendingin di hidupkan atau jendela dibuka.
Makna
tersirat (implised meaning) atau implikatur adalah makna atau pesan yang
tersirat dalam ungkapan lisan dan atau wacana tulis. Kata lain implikatur
adalah ungkapan secara tidak langsung yakni makna ungkapan tidak tercermin
dalam kosa kata secara literal (Ihsan, 2011: 93).
Menurut
Grice (dikutip Rani, Arifin dan Martutik, 2004: 171), dalam pemakaian bahasa
terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang
ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai. Contoh: “Dia seorang
perwira karena itu dia pemberani.”
Pada
contoh tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri
(pemberani) disebabkan oleh ciri lain (seorang perwira), tetapi bentuk ungkapan
yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada.
Kalau individu itu dimaksud seorang perwira dan tidak pemberani, implikaturnya
yang keliru tetapi ujaran tidak salah.
2.2 Deiksis, Referensi dan Inferensi
a. Deiksis
Deiksis
adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “penunjukan”.
Sehingga ungkapan yang menunjukan kepada suatu objek disebut dengan ungkapan
deiksis (Yule, 1996). Misalnya kita menggunakan ungkapan yang mengandung kata
“ini”, “itu”, “-mu”, “-ku”, “-nya”, “disini”, “disana”, “sekarang”, “tadi”,
“kemudian”, maka ungkapan itu menjadi ungkapan deiksis. Dengan demikian, ada
rujukan yang ‘berasal dari penutur’, ‘dekat dengan penutur’ dan ‘jauh dari
penutur’.
Ada tiga jenis deiksis, yaitu :
1) Deiksis Ruang
Deiksis ruang berkaitan
dengan lokasi relatif penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi.
Di dalam bahasa Indonesia, misalnya, kita
mengenal di sini, di situ, dan di
sana. Titik tolak penutur diungkapkan dengan ini dan itu. Marilah kita lihat contoh berikut. A
dan B sedang terlibat di dalam percakapan. A mengambil sepotong kue dan
mengatakan, “Kue ini enak.” Apa yang ditunjuk oleh A, kue ini, tentu akan
disebut B sebagai kue itu. Hal ini terjadi karena titik tolak A dan B berbeda.
Kita juga mengenal kata-kata seperti di sini, di situ dan ini, merujuk kepada
sesuatu yang kelihatan atau jaraknya terjangkau oleh penutur. Selain itu, ada
kata-kata seperti di sana dan itu yang merujuk pada sesuatu yang jauh
atau tidak kelihatan, atau jaraknya tidak terjangkau oleh penutur. Dalam hal
tertentu, tindakan kita sering kali bertalian dengan ruang. Jika kita hendak
menunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, misalnya kita memakai kata
begini. Jika kita hendak merujuk kepada suatu tindakan., kita memakai kata
begitu.
2) Deiksis Persona
Deiksis persona
dapat dilihat pada bentuk-bentuk pronominal. Bentuk-bentuk pronominal itu
sendiri dibedakan atas pronominal orang pertama, pronominal orang kedua, dan
pronominal orang ketiga. Di dalam bahasa Indonesia, bentuk ini masih dibedakan
atas bentuk tunggal dan bentuk jamak sebagai berikut. Tunggal Jamak Orang
pertama Orang kedua Orang ketiga aku, saya engkau, kau, kamu, anda, ia, dia,
beliau kami, kita kamu, kalian mereka Kadang-kadang penutur bahasa menyebut
dirinya dengan namanya sendiri. Di antara penutur bahasa Indonesia, sapaan
kepada orang kedua tidak hanya kamu atau saya, melaikan juga Bapak, Ibu, atau
Saudara.
3) Dieksis Waktu
Dieksis waktu
berkaitan dengan waktu relatif penutur atau penulis dan mitra tutur atau
pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa berbeda-beda. Ada yang
mengungkapkannya secara leksikal, yaitu dengan kata tertentu. Bahasa Indonesia
mengungkapkan waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu
lampau, nanti untuk waktu yang akan datang. Hari ini, kemarin dan besok juga
merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran diucapkan.
b. Referensi dan Inferensi
Adapun
variabel-variabel yang bermain dalam deiksis adalah referensi dan inferensi. Referensi adalah rujukan yang dimaksud
oleh penutur deiksis, sementara itu inferensi
konsep yang kurang lebih harus sama dengan referensi tetapi ada dalam pikiran
pendengar. Setiap kata atau ungkapan deiksis yang dituturkan itu merujuk pada
objek atau pengertian tertentu (reference)
dan pendengar harus memiliki pengetahuan mengenai apa yang dirujuk oleh tuturan
itu (inference).
Dalam
upaya untuk mencerna referensi penutur, pendengar harus memperhatikan pilihan
kata yang digunakan oleh penutur sekaligus mengaitkan makna kata tersebut dengan gestur penutur
(Huang, 2007). Misalnya penutur menggunakan deiksis spasial “itu” seraya
menggunakan jari telunjuk, wajah, mata atau yang lain untuk membantu pendengar
mengetahui referensi yang dimaksud. Akan tetapi, dapatkah itu terjadi jika
ungkapan deiksis itu digunakan atau diproduksi lewat alat komunikasi tak
langsung seperti telepon, surat, SMS, dan sebagainya?
Huang
(2007:134) menyebutkan bahwa gestur merupakan penggunaan dasar dan simbol
seperti kata merupakan penggunaan yang lebih luas. Kedua (gestur dan simbol)
memang saling membantu satu sama lain, agar ungkapan dapat dimengerti. Tetapi
satu hal yang dilupakan oleh kedua pakar ini adalah kondisi skemata pendengar (addressee) yang juga bermain peran
sangat penting dalam penelaahan inferensi.
Skemata
pendengar yang berasal dari pengalaman dialogis (pengalaman-pengalaman yang
saling berhubungan) seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih penting
daripada sekedar membahas bagaimana memproduksi ungkapan deiksis.
https://zainurrahmans.wordpress.com/2009/04/05/kritik-pragmatik,
12/04/04; 23.30 wib
2.3 Contoh Analisi Praanggapan dalam sebuah wacana
Kartun
Kompas Edisi Maret 2012 “Dia
sebenarnya jujur” (4 Maret)
X : Saya terima tiga mobil
itu dari mana?itu mereka berhalusinasi...!!!
Yoga : Halah kutu kumpret, bohong.
Sukribo : Gak tahu malu, dasar.
Pak
Haji : Heh, jangan
nuduh orang sembarangan
dik. Dia itu
jujur jangan
berburuk sangka!!!
Yoga : Mpphh, kayaknya tambah lagi
nih kiayi baju biru.
Pak
Haji : Bisa saja kan dia gak
terima tiga mobil, tapi empat...
Tuturan :
a)
ƒSaya terima tiga mobil itu dari mana? itu mereka
berhalusinasi...!!!„
b)
ƒHalah kutu kumpret, bohong. Gak tahu malu, dasar„
c)
ƒMpphh, kayaknya tambah lagi nih kiayi baju biru„
d)
ƒHeh, jangan nuduh orang
sembarangan dik. Dia itu jujur jangan
berburuk sangka!!! Bisa saja kan dia gak terima tiga mobil, tapi empat„
Praanggapan:
(a)
X dituduh menerima mobil dari seseorang
(b)
X berbohong
(c)
Kiayi terlibat dalam pembicaraan
(d)
X menerima empat mobil.
Analisi:
Praanggapan (a) adalah praanggapan non
faktif karena kata dituduh belum bisa dipastikan kebenarannya. Demikian
juga dengan pranggapan (b) dan (d) belum bisa dipastikan kebenerannya si X
berbohong atau tidak. Selanjutnya si X menerima empat mobil atau tiga mobil karena dalam percakapan tersebut tidak dinyatakan keberadaan suatu
bukti. Praanggapan (c)
merupakan praanggapan ekstensial karena pak Haji terlibat dalam pembicaraan mengenai mobil si X bukan terlibat atas pemerolehan
mobil si X. Oleh karena itu keberadaan pak haji diakui terlibat dalam pembicaraan
tersebut.
Sukribo,
Yoga, X, dan
pak Haji sebagai partisipan,
berbicara tentang mobil yang diterima oleh X. Dimana belum dapat
dipastikan X menerima tiga mobil atau empat karena pada pembicaraan tersebut
tidak disinggung mengenai bukti. Kemudian yang menjadi pengetahuan bersama
adalah bahwa Sukribo dan Yoga sedang marah, X sedang membela diri dan pak Haji
mencoba menenangkan situasi. Selanjutnya kita tahu biasanya Kiayi ahli dalam
menenangkan situasi yang sedang memanas.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=126935&val=3896
13/04/15, 03.45 wib
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Praanggapan merupakan suatu anggapan awal yang
secara tersirat dimiliki oleh sebuah ungkapan kebahasaan sebagai wujud
tanggapan awal pendengar dalam merespon suatu ungkapan kebahasaan. Selanjutnya
Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi
faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural,
dan presuposisi konterfaktual. Makna tersirat (implised meaning) atau implikatur adalah makna atau pesan yang
tersirat dalam ungkapan lisan dan atau wacana tulis.
Ungkapan yang menunjukan kepada suatu objek disebut
dengan ungkapan deiksis. Deiksis, di dalam Pragmatik dibagi menjadi deiksis
persona (jika merujuk pada kepunyaan atau kedirian), deiksis jarak/spasial
(jika menunjukan jarak), deiksis waktu (jika ungkapan itu menggambarkan waktu
atau tenses), deiksis tempat (jika ,merujuk pada suatu tempat) yang sebenarnya
bisa saja dimerger menjadi satu dengan deiksis spasial. Adapun
variabel-variabel yang bermain dalam deiksis adalah referensi dan inferensi.
3.2 Saran
Semoga
dalam perkembangannnya makalah ini dapat bermanfat untuk mahasiwa yang lain
sebagai referensi bahan matakuliah yang sedang.
Ataupun
semu
DAFTAR PUTAKA
Dia, Eva Eri.
2012. Analisis Praanggapan. Malang:
Madani
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar