BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti halnya bahasa, maka wacana
pun mempunyai bentuk (form) dan makna (meaning). Kepaduan makna dan kerapian
bentuk merupakan faktor penting untuk menentukan tingkat keterbacaan dan
keterpahaman wacana. Kepaduan (kohesi) dan kerapian (koherensi) merupakan unsur
hakikat wacana,unsur yang turut menentukan keutuhan wacana. Dalam kata kohesi,
tersirat pengertian kepaduan dan keutuhan, dan pada kata koherensi terkandung
pengertian pertalian dan hubungan.
Jika dikaitkan dengan aspek bentuk
dan makna, kohesi mengacu kepada aspek bentuk, dan koherensi kepada aspek makna
wacana. Selanjutnya dapat juga dikatakan bahwa kohesi mengacu kepada aspek
formal bahasa, sedangkan koherensi mengacu kepada aspek ujaran.
Alasan penulis mengambil judul
tersebut karena di dalam setiap wacana selalu ada unsur-unsur yang
mendukungnya. Salah satunya adalah kohesi dan koherensi. Tetapi tidak semua
paragraf mengandung kedua unsur tersebut. Kadang hanya memiliki salah satu dari
keduanya, sehingga kita harus lebih cermat untuk menyempurnakan kalimat
tersebut agar menjadi kalimat yang logis dan tepat.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi pembeda antara
kohesi dan koherensi?
2. Sarana apa saja yang termasuk ke
dalam unsur kohesi?
3. Jenis-jenis sarana apa yang ada di dalam
unsur koherensi?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari
kohesi dan koherensi.
2. Untuk mengetahui aneka sarana kohesi
yang terdapat dalam sebuah wacana.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis sarana
koherensi yang terdapat dalam sebuah wacana.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian Kohesi dan Koherensi
Mengenai pengertian kohesi dan
koherensi sebenarnya tidak terlihat perbedaan yang nyata, karena pengertian
kedua istilah tersebut sering disamakan dan sering dipertukarkan pemakaiannya.
Kedua pengertian tersebut saling menunjang, saling berkaitan, ibarat dua sisi
pada satu mata uang.
Kohesi memiliki pengertian yaitu hubungan antarkalimat
dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal
tertentu (Gutwinsky, 1976 : 26 dalam Tarigan, 2009 : 93). Untuk dapat
memahami wacana dengan baik, diperlukan pengetahuan dan penguasaan kohesi yang
baik pula, yang tidak saja bergantung pada pengetahuan kita tentang
kaidah-kaidah bahasa, tetapi juga kepada pengetahuan kita mengetahui realitas,
pengetahuan kita dalam proses penalaran, yang disebut penyimpulan sintaktik
(Van de Velde, 1984 : 6 dalam Tarigam, 2009 : 93). Kita dapat mengatakan bahwa suatu teks atau wacana
benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa
terhadap konteks (Tarigan, 2009 : 93).
Sedangkan untuk pengertian koherensi adalah pengaturan
secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta dan ide menjadi suatu untaian yang
logis sehingga kita mudah memahami pesan yang dikandungnya (Wohl, 1978 : 25
dalam Tarigan, 2009 : 100). Pengertian yang lain menyatakan bahwa koherensi adalah pertalian atau
jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan
fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga, fakta
yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya.
Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara
strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa (Teun A. Van Dijk dalam Eriyanto, 2001 :
242).
B.
Sarana-sarana Kohesi
Kohesi yaitu hubungan antarkalimat dalam
sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal.
Dalam strata gramatikal
Halliday dan Hasan pada tahun 1976 mengemukakan sarana-sarana kohesif yang
terperinci dalam karya mereka yang berjudul Cohesion
in English. Mereka mengelompokkan sarana-sarana kohesif itu ke
dalam lima kategori, yaitu :
1.
Pronomina (kata ganti)
Salah
satu sarana kohesif yaitu pronomina atau kata ganti. Kata ganti tersebut dapat
berupa kata ganti diri, kata ganti penunjuk, dan lain-lain.
Kata ganti diri dapat berupa :
ð Saya, aku, kita, kami ;
ð Engkau, kamu, kau, kalian, anda ;
ð Dia, mereka.
Contoh :
Ani,
Berta, dan Clara sedang duduk-duduk di beranda
depan rumah Pak Dadi. Mereka sedang
asyik berbincang-bincang. ....
Kata ganti penunjuk dapat berupa ini, itu, sini, situ, sana, di sini, di
sana, ke sini, ke situ, ke sana.
Contoh :
Ini
rumah kami. Kami tinggal di sini
sejak tahun 1962. Tamu-tamu dari Sumatera sering datang ke sini dan menginap beberapa lama di sini.
Kata ganti empunya dapat berupa –ku, -mu, -nya, kami, kamu, kalian, mereka.
Contoh :
Anakku, anaknya melanjutkan
pelajaran di Jakarta. Anakmu kuliah
di mana? Anak kami sama-sama kuliah
di Universitas Indonesia. ...
Kata ganti penanya berupa apa, siapa, mana.
Contoh :
Apa
yang kamu cari di sini?
Siapa
yang kamu pilih menjadi temanmu?
.........
Kata ganti penghubung berupa yang.
Contoh :
Kita hidup bermasyarakat, hidup
tolong-menolong. Yang pintar
mengajari yang bodoh. Yang kaya menolong yang miskin. ......
Kata ganti tak tentu berupa siapa-siapa, masing-masing, sesuatu,
seseorang, para.
Contoh :
Siapa-siapa
yang turut berdarmawisata ke Pantai Pangandaran ditentukan oleh Kepala Sekolah kami. Kepada para pengikut diberikan sesuatu
yang sangat menggembirakan. ....
2.
Substitusi (penggantian)
Substitusi adalah proses atau hasil
penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk
memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu
(Kridalaksana, 1984 : 185 dalam Tarigan, 2009 : 96).
Substitusi merupakan hubungan gramatikal, lebih bersifat hubungan kata dan
makna. Substitusi dapat bersifat nominal, verbal, klausa, atau campuran,
misalnya satu, sama, seperti itu,
sedemikian rupa, demikian, begitu, melakukan hal yang sama.
Contoh
:
Saya
dan paman masuk ke warung kopi. Paman memesan kopi susu. Saya juga mau satu.
Keinginan kami rupanya sama. .....
3.
Elipsis
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan
lain yang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar
bahasa (Kridalaksana, 1984 : 45 dalam Tarigan, 2009 : 97). Elipsis dapat pula
dikatakan penggantian atau sesuatu yang ada tetapi tidak diucapkan atau tidak
dituliskan.
Contoh :
Indah
dan Gery senang sekali mendaki gunung sebagai sport utama mereka. Justru Fries
dan Ninon sebaliknya, mereka senang memancing. .....
4. Konjungsi
Konjungsi
adalah penggabungan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa,
kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf (Kridalaksana, 1984 : 105
dalam Tarigan, 2009 : 97). Konjungsi dapat berupa :
a) Konjungsi adversatif : tetapi, namun
b) Konjungsi klausal : sebab, karena
c) Konjungsi koordinatif : dan, atau, tetapi
d) Konjungsi korelatif : entah, baik, maupun
e) Konjungsi subordinatif : meskipun, kalau, bahwa
f) Konjungsi temporal : sebelum, sesudah
5. Leksikal
Kohesi
leksikal diperoleh dengan cara memilih kosakata yang serasi. Ada beberapa cara
untuk mencapai aspek leksikal kohesi ini, antara lain :
a) Pengulangan (repetisi) kata yang sama : pemuda – pemuda
b) Sinonim :
pahlawan – pejuang
c) Antonim :
putra – putri
d) Hiponim :
angkutan darat (kereta api, dll)
e) Kolokasi :
buku, koran, majalah
f) Ekuivalensi : belajar,
mengajar, pelajar, dll
C.
Jenis-jenis Sarana Koherensi
Koherensi merupakan pertalian atau jalinan
antar kata, atau kalimat dalam teks. Koherensi ini merupakan salah satu elemen
wacana yang di pergunakan untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa (Teun A.
Van Dijk, dalam Eryanto, 2001 : 242).
Sarana
koherensi paragraf dapat berupa penambahan, seri, prononima, pengulangan,
sinonim, keseluruhan, kelas, penekanan, komparasi, kontras, simpulan, contoh,
kesejajaran, lokasi, dan waktu (F. J. D’Angelo dalam Tarigan, 2009 : 101).
Berikut penjabarannya.
Sarana
penghubung yang bersifat adiktif atau berupa penambahan itu, antara lain : dan, juga, lagi, pula, dll.
Contoh :
Laki-laki dan perempuan, tua dan
muda, juga para tamu turut bekerja
bergotong royong menumpas hama tikus di sawah-sawa di desa kami. .......
Sarana
penghubung rentetan atau seri adalah pertama,
kedua, .... berikut, kemudian, selanjutnya, akhirnya.
Contoh :
Pertama-tama
kita semua harus mendaftarka diri sebagai anggota perkumpulan. Kedua, kita membayar uang iuran. Berikutnya kita mengikuti segala
kegiatan, baik berupa latihan maupun kursus-kursus.
Sarana
penghubung yang berupa kata ganti diri, kata ganti petunjuk, dan lain-lainnya.
Contoh :
Ini rumah saya, itu rumah kamu. Saya dan kamu mendapat hadiah dari
pimpinan perusahaan. Rumah kita berdekatan. Kita
bertetangga. Rumah Lani dan rumah Mina
di seberang sana. Mereka bertetangga. ....
Penggunaan
sarana koheresi wacana yang berupa sinonim atau padanan kata (pengulangan
kata).
Contoh :
Memang dia mencintai gadis itu. Wanita itu berasal dari Solo.
Pacarnya itu memang cantik, halus budi bahasa, dan bersifat keibuan sejati.
.....
Penggunaan repitisi atau pengulangan kata sebagai sarana koherensif wacana.
Contoh :
Dia mengatakan kepada saya bahwa
kasih sayang itu berada dalam jiwa dan raga sang ibu. saya menerima kebenaran ucapan itu. Betapa tidak, kasih sayang
pertama saya peroleh dari ibu. ....
Penggunaan
sarana koherensif dimulai dari
keseluruhan, baru kemudian kita beralih atau memperkenalkan bagian-bagiannya.
Hal ini memang sesuai dengan salah satu dimensi yang harus dipenuhi dalam
penyusunan kurikulum atau silabus pengajaran bahasa. Kita mulai dari bagian
yang lebih besar ke bagian yang lebih kecil; dari bagian yang umum menuju
bagian yang khusus. Tentu hal ini bergantung pada tujuan dan tingkat kelas para
siswa.
Contoh :
Saya membeli buku baru. Buku itu
terdiri dari tujuh bab. Setiap bab terdiri pula dari sejumlah pasal. Setiap pasal tersusun dari beberapa paragraf.
Seterusnya setiap paragraf terdiri
dari beberapa kalimat. .....
Sarana
koherensif wacana yang mulai dari kelas
ke anggota.
Contoh :
Pemerintah berupaya keras
meningkatkan pehubungan darat, laut, dan udara. Dalam bidang perhubungan darat
telah digalakkan pemanfaatan kereta api
dan kendaraan bermotor. Kendaraan
bermotor ini meliputi mobil, sepeda
motor, dan lain-lain.
Dengan
sarana penekanan pun kita dapat pula menambah tingkat kekoherensifan wacana.
Contoh :
Bekerja bergotong royong itu bukan
pekerjaan sia-sia. Nyatalah kini
hasilnya. jembatan sepanjang tujuh kilometer yang menghubungkan kampung kita
ini dengan kampung di seberang Sungai Lau Biang ini telah sekali kita kerjakan
dengan AMD (Abri Masuk Desa). Jelaslah hubungan
antara kedua kampung berjalan lebih lancar.
Komparasi atau perbandingan dapat menambah serta
meningkatkan kekoherensifan wacana.
Contoh :
Sama
halnya dengan Paman Lukas, kita pun harus segera mendirikan rumah di
atas tanah yang baru kita beli. Sekarang rumah Paman Lukas itu hampir selesai.
Mengapa kita tidak membuat hal yang
serupa selekas mungkin? ....
Kontras
atau pertentangan para penilis dapat menambah kekoherensian karyanya.
Contoh :
Aneh tapi nyata. Ada teman saya
seangkatan, namanya Joni. Dia rajin sekali belajar, tetapi setiap tentamen
selalu tidak lulus. Harus mengulang. Namun demikian, dia tidak pernah putus
asa. Dia tenang saja. Tidak pernah mengeluh. Bahkan sebaliknya, dia semakin
belajar. Sampai-sampai larut malam dia membaca. Tanpa keluhan apa-apa. Akhirnya
tentamen semua lulus juga. Dia menganut falsafah “biar lambat asal selamat.”
Kini dia telah menyelesaikan studinya dan diangkat menjadi guru SMA di
Prabumulih.
Dengan
kata-kata yang mengacu kepada hasil
atau simpulan, kita dapat juga
meningkatkan kekoherensifan wacana.
Contoh:
Pepohonan telah menghijau di setiap
pekarangan rumah dan ruangan kuliah di kampus kami. Burung-burung beterbangan
dari dahan ke dahan sambil bernyanyi-nyanyi. Udara sejuk dan nyaman. Jadi penghijauan di kampus itu telah
berhasil. Demikianlah kini keadaan
kampus kami. .......
Dengan
pemberian contoh yang tepat dan
serasi, kita dapat pula menciptakan kekoherensifan wacana:
Contoh:
Wajah pekarangan atau halaman rumah
di desa kami telah berubah menjadi warung hidup. Di pekarangan itu ditanam
kebutuhan dapur sehari-hari; umpamanya:
bayam, tomat, cabai, singkong, dan lain-lain. ....
Penggunaan
kesejajaran atau paralelisme klausa sebagai saran kekoherensifan wacana.
Contoh :
Waktu dia datang, memang saya sedang asyik membaca, saya sedang tekun
mempelajari buku baru mengenai wacana. Karena asyiknya, saya tidak
mengetahui, saya tidak mendengar
bahwa dia telah duduk di kursi mengamati saya. ...
Sedangkan
untuk aneka sarana keutuhan wacana dari segi makna menurut (Harimurti
Kridalaksana (1978) dalam Tarigan, 2009 : 105) antara lain : hubungan
sebab-akibat, hubungan alasan-akibat, hubungan sarana-hasil, hubungan
sarana-tujuan, hubungan latar-kesimpulan, hubungan hasil-kegagalan, hubungan
syarat hasil, hubungan perbandingan, hubungan parafrastis, hubungan amplikatif,
hubungan aditif temporal, hubungan aditif nontemporal, hubungan identifikasi,
hubungan generik-spesifik, dan hubungan ibarat. Berikut penjelasanya.
Hubungan
sebab-akibat untuk menciptakan keutuhan wacana.
Contoh :
Pada
waktu mengungsi dulu sukar sekali mendapatkan beras di daerah kami. Masyarakat
hanya memakan singkong sehari-hari. Banyak anak yang kekurangan vitamin dan
gizi. Tidak sedikit yang lemah dan sakit.
Hubungan
alasan-akibat.
Contoh :
Saya sedang asyik membaca majalah
Kartini. Tiba-tiba saya kepingin benar makan colenak dan minum bajigur. Segera
saya menyuruh pembantu saya membelinya ke warung di seberang jalan sana. Saya
memakan colenak dan bajigur itu dengan lahapnya. Nikmat sekali rasanya.
Hubungan
sarana-hasil.
Contoh :
Penduduk di sekitar Kampus Bumisiliwangi
yang mempunyai rumah atau kamar yang akan disewakan memang berusaha selalu
menyenangkan para penyewa. Jelas banyak sekali para mahasiswa yang tertolong,
lebih-lebih yang berasal dari luar Bandung dan luar Jawa. Apalagi sewanya
memang agak murah dan dekat pula ke tempat kuliah. Sangat efisien.
Hubungan
sarana-tujuan.
Contoh :
Dia belajar dengan tekun. Tiada kenal
letih siang malam. Cita-citanya untuk menggondol gelar sarjana tentu tercapai paling
lama dua tahun lagi. Di samping itu istrinya pun tabah sekali berjualan.
Untungnya banyak juga tiap bulan. Keinginannya untuk membeli gubuk kecil agar
mereka tidak menyewa rumah lagi akan tercapai juga nanti.
Hubungan
latar-kesimpulan.
Contoh :
Pekarangan rumah Pak Ali selalu hijau.
Pekarangan itu merupakan warung hidup dan apotek hidup yang rapi. Selalu diurus
baik-baik. Agaknya Bu Ali pandai mengatur dan menatanya. Rupanya Bu Ali pun
bertangan dingin pula menanam dan mengurus tanaman.
Hubungan
hasil-kegagalan.
Contoh :
Kami tiba di sini agak subuh dan
menunggu agak lama. Ada kira-kira dua jam lamanya. Mereka tidak muncul-muncul.
Mereka tidak menepati janji. Kami sangat kecewa dan pulang kembali dengan rasa
dongkol.
Hubungan
syarat-hasil.
Contoh :
Seharusnyalah penduduk desa kita ini
lebih rajin bekerja, rajin menabung di KUD. Tentu saja desa kita lebih maju dan
lebih makmur dewasa ini. Dan seterusnya pula kita menjaga kebersihan desa ini.
Pasti kesehatan masyarakat desa kita lebih baik.
Hubungan
perbandingan.
Contoh :
Sifat para penghuni asrama ini sangat
beraneka ragam. Wanitanya rajin belajar. Prianya lebih malas. Wanitanya mudah
diatur. Prianya agak bandel.
Hubungan
parafrastis.
Contoh :
Kami tidak menyetujui penurunan uang
makan di asrama ini karena dengan bayaran seperti yang berlaku selama ini pun
kuantitas dan kualitas makanan dan pelayanan tidak bisa ditingkatkan.
Sepantasnyalah kita menambahi uang bayaran bulan kalau kita mau segala
sesuatunya bertambah baik. Seharusnyalah kita dapat berpikir logis.
Hubungan
amplikatif.
Contoh :
Perang itu sungguh kejam. Militer,
sipil, pria, wanita, tua dan muda menjadi korban peluru. Peluru tidak dapat
membedakan kawan dan lawan. Sama dengan pembunuh. Biadab, kejam, dan tidak
kenal perikemanusiaan. Sungguh ngeri.
Hubungan
aditif temporal.
Contoh :
Paman menunggu di ruang depan. Sementara
itu saya menyelesaikan pekerjaan saya. Kini pekerjaan saya sudah selesai. Saya
sudah merasa lapar. Segera saya mengajak Paman makan di kantin. Sekarang saya
dan paman dapat berbicara santai sambil makan.
Hubungan
aditif nontemporal.
Contoh :
Orang itu malas bekerja. Duduk melamun
saja sepanjang hari. Berpangku tangan. Bagaimana bisa mendapat rezeki?
Bagaimana bisa hidup berkecukupan. Tanpa menanam, menyiangi, menumbuk, serta
menumpas hama, bagaimana bisa memperoleh panen yang memuaskan, bukan? Agaknya
orang itu tidak menyadari hal ini.
Hubungan
identifikasi.
Contoh :
Kalau orang tuamu miskin, itu tidak
berarti bahwa kamu tidak mempunyai kemungkinan memperoleh gelar sarjana. Lihat
itu, Guntur Sibero. Dia anak orang miskin yang berhasil mencapai gelar doktor,
dan kini sudah diangkat menjadi profesor di salah satu perguruan tinggi di
Bandung.
Hubungan
generik-spesifik.
Contoh :
Abangku memang bersifat sosial dan
pemurah. Dia pasti dan rela menyumbang paling sedikit satu juta rupiah buat
pembangunan rumah ibadah itu.
Hubungan
ibarat.
Contoh :
Memang
suatu ketakaburan bagi pemuda papa dan miskin itu untuk memiliki mobil dan
gedung mewah tanpa bekerja keras memeras otak. Kerjanya hanya melamun dan
berpangku tangan saja setiap hari. Di samping itu dia berkeinginan pula
mempersunting putri Haji Guntur yang bernama Ruminah itu, jelas dia itu ibarat
pungguk merindukan bulan. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak
sampai.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
data di atas, dapat disimpulkan bahwa kohesi dan koherensi tidak terlihat nyata
perbedaannya, karena kedua pengertian istilah tersebut sering disamakan, bahkan
dipertukarkan pemakainnya. Kohesi tersirat pengertian kepaduan, keutuhan.
Sedangkan koherensi terkandung pengertian pertalian, hubungan.
Sarana
kohesif dan sarana koherensif wacana terlihat tumpang tindih. Adapun sarana
kohesif terdiri dari strata gramatikal dan leksikal. Wacana menuntut keutuhan,
baik keutuhan bentuk dan makna. Aneka sarana koherensif juga dapat ditinjau
dari keutuhan bentuk (paragraf), dan juga ditinjau dari keutuhan wacana.
B.
Saran
Dari
simpulan di atas, penulis berharap kita dapat membuat sebuah wacana yang
mengandung unsur kohesi dan koherensi, karena unsur kohesi dan koherensi sangat
diperlukan untuk membentuk sebuah wacana. Dan diperlukan kecermatan serta
kelogisan kalimat untuk membentuk beberapa paragraf di dalam sebuah wacana.
DAFTAR
PUSTAKA
F.
J. D’Angelo dalam Tarigan, 2009 : 101
Gutwinsky,
1976 : 26 dalam Tarigan, 2009 : 93
Harimurti
Kridalaksana (1978) dalam Tarigan, 2009 : 105
Kridalaksana,
1984 : 185 dalam Tarigan, 2009 : 96
Kridalaksana,
1984 : 45 dalam Tarigan, 2009 : 97
Kridalaksana,
1984 : 105 dalam Tarigan, 2009 : 97
Teun
A. Van Dijk dalam Eriyanto, 2001 : 242
Van
de Velde, 1984 : 6 dalam Tarigam, 2009 : 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar