BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa adalah sistem
lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial
untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Teks adalah
bahasa yang berfungsi, maksudnya adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas
tertentu (menyampaikan pesan atau informasi) dalam konteks situasi, berlainan
dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang mungkin dituliskan di papan
tulis. Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau yang bersama teks. Secara
garis besar, konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yakni konteks
linguistik dan konteks ekstralinguistik.
Kajian wacana memiliki unsur pendukung yang sangat kompleks. Unsur tersebut terdiri atas unsur verbal (linguistik) dan unsur nonverbal (nonlinguistik). Struktur linguistik wacana merupakan
satuan lingual tertinggi dalam hirarki kebahasaan. Sementara itu, unsur
nonlinguistik yang melingkupinya mengandung pengetahuan dan informasi tak
terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa kajian secara struktural wacana adalah
aspek kajian yang sangat luas, artinya kebahasaan yang lebih besar daripada
kalimat dan klausa dan mempunyai hubungan antara unit kebahasaan yang satu
dengan yang lain. Atau dengan kata lain, kajian wacana merupakan satuan bahasa
yang kompleks dalam hirarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini
direalisasikan dalam bentuk wacana yang utuh.
Adapun unsur-unsur yang terkait dengan kajian wacana ini di antaranya,
yaitu teks, ko-teks, dan konteks. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian
dan hubungan antara ketiganya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana pengertian teks, ko-teks dan konteks dalam kajian wacana?
2.
Bagaimana hubungan antara teks, ko-teks dan konteks dalam kajian
wacana?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah makalah ini memiliki tujuan, yaitu:
1.
Menjelaskan pengertian teks, ko-teks dan konteks dalam kajian
wacana;
2.
Menjelaskan hubungan antara teks, ko-teks dan konteks dalam kajian
wacana.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teks, Ko-teks, Dan Konteks Dalam Kajian Wacana
1.
Pengertian Teks
Teks merupakan naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang.
(KBBI, 2011). Ada beberapa pegertian yang dikemukakan oleh para ahli terkait
dengan teks. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan ahli tersebut
secara keseluruhan hampir sama. Luxemburg (1989) yang dikutip Tedi dalam
makalahnya menyatakan bahwa teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi,
sintaksis, dan pragmatik merupakan satu kesatuan. Teks dalam hal ini tidak
hanya dipandang dari sisi tata bahasa yang sifatnya tertulis atau unsur-unsur
kebahasaan yang dituliskan, lebih dari itu, suatu teks juga dilihat dari segi
maksud dan makna yang diujarkan. Teks memiliki kesatuan dan kepaduan antara isi
yang ingin disampaikan dengan bentuk ujaran, dan situasi kondisi yang ada.
Dengan kata lain, bahwa teks itu berupa ungkapan berupa bahasa yang di dalamnya
terdiri dari satu kesatuan antar isi, bentuk, dan situasi kondisi
penggunaannya.
Kridalaksana (2011:238) dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa
teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan
kalimat, kata, dan sebagainya yang membentuk ujaran, (3) ujaran yang dihasilkan dalam interaksi
manusia. Dilihat dari tiga pengertian teks yang dikemukakan dalam Kamus
Linguistik tersebut dapat dikatakan bahwa teks adalah satuan bahasa yang bisa
berupa bahasa tulis dan bisa juga berupa bahasa lisan yang dahasilkan dari interaksi
atau komunikasi manusia.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa teks
adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun
tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk
menyampaikan pesan tertentu. Teks tidak hanya berbentuk deretan kalimat-kalimat
secara tulis, namun juga dapat berupa ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan,
bahkan ada juga teks itu terdapat di balik teks.
Terkait dengan konsep teks dalam kajian wacana berbagai macam
pandangan yang dikemukakan oleh ahli. Ada ahli seringkali menggunakan istilah
wacana dan teks secara bersamaan. Ada juga, yang beranggapan istilah wacana dan
teks ini sama dan ada juga yang menganggap kedua istilah tersebut berbeda.
Juez (2009:6) mengatakan secara umum istilah teks digunakan
terbatas pada bahasa tulis dan wacana terbatas pada bahasa lisan. Ia mengatakan
bahwa dalam linguistik modern telah mengenal konsep teks yang berbeda, yaitu
memasukkan setiap jenis ujaran ke dalam teks. Sebuah teks bisa berupa sebuah
artikel majalah, wawancara di TV dan lain sebagainya. Dengan demikian, teks
tidak hanya sekedar sebuah naskah tertulis yang berisi materi dan informasi
tertentu. Setiap jenis ujaran yang dituangkan melalui media tulis dapat pula
dikatakan sebuah teks, sehingga untuk memahami sebuah teks juga dibutuhkan
peran wacana. Berdasarkan hal tersebut, maka teks dan wacana sama-sama memiliki
peran penting dalam bahasa tulis maupun lisan.
Berbeda dengan Stubbs (1983:9) yang mengatakan teks dan wacana
merupakan dua hal yang berbeda. Teks merupakan tuturan yang monolog
non-interaktif, sedangkan wacana adalah tuturan yang bersifat interaktif. Dalam
konteks ini, teks dapat disamakan dengan naskah, misalnya naskah-naskah materi
kuliah, pidato, dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
perbedaan antara teks dan wacana itu terletak pada jalur atau segi pemakaiannya
saja. Berdasar hal ini, Mulyana (2005:9) mengatakan ada dua tradisi pemahaman
di bidang linguistik, yaitu analisis linguistik teks dan analisis wacana.
Analisis linguistik teks objek kajiannya berupa bentuk bahasa formal yang
berupa kosa kata dan kalimat, sedangkan analisis wacana terkait dengan analisis
konteks terjadinya suatu tuturan itu.
Jadi, berdasarkan adanya pandangan yang menganggap antara wacana
dan teks merupakan dua hal yang sama dan ada juga yang menganggap berbeda, hal
itu disebabkan oleh adanya sudut pandang yang berbeda. Situasi ini sangat
bergantung dengan realisasi penggunaan bahasa. Ada ahli yang melihat dari unsur
linguistik dan ada juga yang melihatnya dari unsur non-linguistik seperti konteks
dan ada pula yang memandang dari aspek strukturnya. Sebuah wacana, misalnya
suatu percakapan jika dikaji prosesnya, maka wacana merupakan proses komunikasi
antara pembicara dengan mitra tutur yang menghasilkan interpretasi. Tetapi,
jika dipandang dari segi produk maka wacana itu dapat berupa teks sebagai
produk bahasa yang menghasilkan makna, sehingga wacana itu dibedakan dengan
teks.
Kemudian, jika sebuah wacana misalnya percakapan dapat dipandang
sebagai teks jika dilihat dalam hubungan kebahasaan antar tuturan. Selain itu,
juga berpedoman bahwa secara hierarki gramatikal wacana merupakan satuan bahasa
tertinggi yang lebih tinggi dari kalimat atau klausa. Kalau mengacu dari
pandangan ini wacana dapat disamakan dengan teks. Teks merupakan data dalam analisis
wacana, baik teks yang lisan maupun tulis. Teks dalam hal ini mengacu pada
bentuk transkripsi rangkaian suatu kalimat atau ujaran.
2.
Pengertian Ko-Teks
Ko-teks adalah kalimat yang mendahului dan atau yang mengikuti di
dalam wacana. (KBBI Offline) Dilihat berdasarkan makna dalam Kamus Linguistik
(2011:137), koteks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mendahului dan/atau
mengikuti sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai
keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks
yang didampingi itu bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks
yang mendampingi (mengiringi). Sebagai contoh pada kalimat “Selamat Datang” dan “Selamat Jalan” yang terdapat di pintu masuk
suatu kota, daerah, atau perkampungan.
Kedua kalimat di atas memiliki keterkaitan. Kalimat “Selamat Jalan” merupakan ungkapan dari
adanya kalimat sebelumnya, yaitu “Selamat
Datang”. Kalimat “Selamat Datang”
dapat dimaknai secara utuh ketika adanya kalimat sesudahnya, yaitu “Selamat
Jalan”, begitu juga sebaliknya.
Keberadaan koteks dalam suatu wacana menunjukkan bahwa struktur
suatu teks memiliki hubungan dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu
wacana menjadi utuh dan lengkap. Ko-teks dapat menjadi alat bantu untuk
menganalisis wacana. Dalam wacana yang cukup panjang sering sebuah kalimat
harus dicarikan informasi yang jelas pada bagian kata yang lainnya. Perhatikan
contoh berikut ini.
Markusen
adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Tidak hanya itu, dia juga
seorang pengusaha dan mantan seorang dosen di salah satu PT ternama. Selain
itu, beliau juga dikenal sangat baik oleh masyarakatnya.
Kata dia, beliau dan –nya yang terdapat pada kalimat kedua dan
ketiga di atas mengacu kepada Markusen pada kalimat pertama. Tafsiran itu
didasarkan pada kalimat yang menyatakan bahwa Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini.
Jadi, Markusen pada kalimat itu menjadi koteks bagi dia, beliau dan -nya.
3.
Pengertian Konteks
Konteks adalah bagian suatu uraian atau
kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; situasi yang ada
hubungannya dengan suatu kejadian. (KBBI Offline) Para ahli bahasa
dahulunya menganalisis kalimat tanpa memperhatikan konteksnya. Makna sebuah
kalimat baru dapat dikatakan benar bila kita mengetahui siapa pembicaranya,
siapa pendengarnya, bagaimana mengucapkannya, dan lain-lain. Oleh sebab itulah,
perlu menganalisis kalimat-kalimat terlebih dahulu dengan menganalisis
konteksnya.
Kleden (dalam Sudaryat, 2009:141) mengatakan konteks adalah ruang
dan waktu yang spesifik yang dihadapi seseorang atau kelompok orang. Halliday
(1994:6) mengemukakan bahwa konteks adalah teks yang menyertai teks. Artinya
konteks itu hadir menyertai teks. Kemudian, Kridalaksana (2011:134) mengartikan
konteks adalah (1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait
dengan ujaran tertentu, (2) pengetahuan yang sama-sama memiliki pembicara dan
pendengar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara.
Menurut Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap
sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud,
maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa
tuturan itu. Seperti terpola dari bagan berikut.
Proses Peristiwa Bertutur
Pembicara
(O1) Pasangan Bicara (O2)
Maksud
(pra ucap) pemahaman (pascaucap)
Pensandian
(encoding) pembacaan
sandi (decoding)
Pengucapan
(fonasi) penyimakan (audisi)
Pada
hakikarnya, wacana adalah wujud nyata komunikasi verbal manusia. Oleh karena
itu, wacana selalu mengandaikan adanya orang pertama (O1) atau biasa disebut
pembicara, penulis, penyapa, atau penutur (addressor), dan orang kedua
(O2) sebagai pasangan bicara atau pendengar, pembaca, penutur (addresse). Keterpahaman terhadap
tuturan antara O1 dan O2, sebagaimana
terlihat dalam bagan di atas, sangat tergantung pada bagaimana kedua pembicara
memahami tuturan yang bersifat kontekstual.
Salah
satu unsur konteks yang cukup penting ialah waktu dan tempat. Contohnya: “Waktu pukul enam sore, desa Tirtomoyo sudah
tampak sunyi seperti kuburan. Terpaksa aku menutup pintu rumah. Masuk dan tiduran. Aku terbangun jam tiga pagi. Tidak dikira ternyata di
jalan sudah banyak orang lalu lalang.” Contoh tersebut memberi informasi tentang ‘keadaan
suatu desa berdasarkan konteks tempat dan waktu’. Pemahaman tentang keadaan dan keramaian desa
umumnya berbeda dengan kondisi di perkotaan. Informasi tersebut bahkan bisa
bermakna sebaliknya. Jam 18.00 petang di desa, terutama di daerah pelosok,
barangkali sudah dianggap malam (indikasinya sudah gelap, karena belum ada
penerangan listrik, dan sebagainya.) sementara di kota, konteks waktu seperti
itu masih dianggap sore. Sebaliknya pukul 03.00 pagi buta, di desa sudah
dianggap pagi-kerja, sementara di kota, bahkan masih sangat malam. Penafsiran
itu semata-mata berdasarkan pada kondisi dan kebiasaan saja. Bila hal itu
dikaitkan dengan kesibukan kerja, misalnya di terminal, di pasar, di diskotik,
atau di tempat-tempat lain, tentu pemahaman tentang makna dan informasinya juga
akan mengalami perubahan.
Konteks yang
berkaitan dengan partisipan (penutur) juga sangat
berperan dalam memahami makna dan informasi tuturan. Misalnya muncul tuturan
berikut ini. “Saya ingin turun. Sudah
capek.” Kalau yang mengucapkan tuturan itu adalah seorang pejabat atau
politisi, maka sangat mungkin yang dimaksud dengan turun adalah ‘turun dari jabatan’. Namun,
pengertian itu bisa keliru bila tuturan itu, misalnya, diucapkan oleh anak
kecil yang sedang memanjat pohon. Maknanya bisa berubah drastis, yaitu ‘turun dari pohon’. Singkat kata, untuk
mendapatkan pemahaman wacana yang menyeluruh, konteks harus dipahami dan
dianalisi secara mutlak.
Contohnya lain
seperti dialog di bawah ini.
Dialog I
Pembicara : Ibu
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
karena mengambil sesuatu yang dipinjam
Waktu : Pukul 09.00 WIB
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang.”
Dialog II
Waktu : Pukul 09.00 WIB
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang.”
Dialog II
Pembicara : Ibu
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Menunggu anaknya yang belum kembali dari rumah temannya
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Menunggu anaknya yang belum kembali dari rumah temannya
Waktu : Pukul 00.00
Wib
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang”.
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang”.
Kalimat “Cepat sekali kamu pulang” yang diucapkan si ibu pada
dialog I dan II memiliki bentuk yang sama, tetapi maknanya berbeda. Kalimat
pada dialog I, si ibu sungguh-sungguh mengatakan bahwa anaknya sangat cepat
kembali dari rumah paman atau dapat dikatakan si Ibu memuji anaknya yang
melaksanakan perintah/kerja dengan cepat. Berbeda dengan dialog II, kalimat itu
memiliki makna sindiran pada anaknya yang terlambat pulang ke rumah. Kata
“Cepat sekali kamu pulang” pada kalimat dialog II bukan makna sebenarnya yang
menyatakan si anak pulang dengan cepat, malah sebaliknya, yaitu pulangnya
lambat.
Hal ini harus diterangkan secara pragmatik karena kata-kata maupun
kalimatnya secara semantik tidak memperlihatkan arti sindiran. Dengan begitu,
pendengar atau pembaca harus mengetahui konteks kalimat tersebut agar dapat
mengetahui maksud suatu kalimat itu dengan tepat. Begitu pentingnya mengetahui
konteks sebuah kalimat atau wacana karena hal itu dapat menimbulkan perbedaan
antara dua kalimat yang sama seperti yang ada dalam contoh di atas. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan konteks mengakibatkan perbedaan
makna.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konteks
adalah ruang dan waktu yang meliputi lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam
memahami suatu teks. Teks yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya teks-teks
yang dilisankan dan yang ditulis, melainkan termasuk pula kejadian-kejadian
yang nirkata (nonverbal) lainnya atau keseluruhan lingkungan teks itu. Selain
itu, konteks juga dianggap sebagai penyebab terjadinya suatu pembicaraan atau
interaksi komunikasi.
Macam-Macam Konteks
1)
Konteks Situasi
Semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Ciri-ciri
‘tekstual’ memungkinkan wacana menjadi padu bukan hanya antara unsur-unsurnya
dalam wacana itu sendiri tetapi juga dengan
konteks situasinya. Halliday & Hasan (1994) mengatakan yang dimaksud dengan konteks situasi adalah lingkungan
langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Atau dengan kata lain, kontek
situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun
lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Dalam pandangan
Halliday (1994: 16), konteks situasi terdiri dari (1) medan wacana, (2) pelibat
wacana, dan (3) modus/sarana wacana. Medan wacana merujuk pada aktivitas sosial
yang sedang terjadi atau apa yang sesungguhnya disibukkan oleh para pelibat.
Pelibat wacana merujuk pada orang-orang yang mengambil bagian, sifat para
pelibat, kedudukan dan peran mereka, jenis-jenis hubungan peranan apa yang
terdapat di antara para pelibat. Sarana wacana merujuk pada bagian bahasa yang
sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan
atau tulisan.
Hymes dalam Brown & Yule (1983: 38-39) memberi
penjelasan lebih rinci mengenai ciri-ciri konteks yang relevan dalam konteks
situasi, yaitu:
a)
Pembicara/Penulis (Addressor)
Pembicara atau penulis adalah seseorang
yang memproduksi/menghasilkan suatu ucapan. Mengetahui si pembicara pada suatu
situasi akan memudahkan untuk menginterpretasi pembicaraanya. Umpamanya saja
seseorang mengatakan ‘operasi harus dilakukan’. Kalau kita ketahui si pembicara
adalah dokter, tentu kita akan paham yang dimaksud dengan ‘operasi’ adalah operasi terhadap manusia atau hewan. Tetapi jika
yang berbicara adalah ahli ekonomi, kita akan paham bahwa yang dimaksud dengan
operasi adalah mendistrubusikan beras ke pasar dari pemerintah untuk menstabilkan
harga. Beda pula ketika mengatakan adalah pencuri, perampok, dan polisi. Jadi,
jelas sekali bagaimana pentingnya mengetahui si pembicara demi menafsikan
pembicaraannya. Kalau tidak diketahui siapa pembicaranya maka akan sulit untuk
memahami kata-kata yang diucapkan atau dituliskan.
b)
Pendengar/pembaca (Addresse)
Pendengar/pembaca adalah seseorang yang
menjadi mitra tutur/baca dalam suatu berkomunikasi atau dapat dikatakan
seseorang yang menjadi penerima (recepient) ujaran. Kepentingan
mengetahui si pembicara sama pentingnya dengan mengetahui si pendengar,
terhadap siapa ujaran tersebut ditujukan akan
memperjelas ujaran itu. Berbeda penerima ujaran, akan berbeda pula tafsiran
terhadap apa yang didengarnya.
c)
Topik pembicaraan (Topic)
Dengan mengetahui topik pembicaraan, akan
mudah bagi seseorang pendengar/pembaca untuk memahami pembicaraan atau tulisan.
d)
Saluran (Channel)
Selain partisipan dan topik pembicaraan, saluran juga sangat
penting di dalam menginterpretasikan makna ujaran. Saluran yang dimaksud dapat
secara lisan atau tulisan.
e)
Kode (Code)
Kode yang dimaksud adalah bahasa, dialek atau gaya
bahasa seperti apa yang digunakan di dalam berkomunikasi. Misalnya, jika
saluran yang digunakan bahasa lisan, maka kode yang dapat dipilih adalah dialek
bahasa. Seseorang yang mengungkapkan isi hatinya dengan bahasa daerah kepada
temannya akan meresa lebih bebas, akrab, dan lain sebagainya dibandingkan
dengan menggunakan bahasa Indonesia.
f)
Bentuk Pesan (Message Form)
Pesan yang disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan ini
bersifat penting. Menyampaikan tentang ilmu pasti misalnya, dengan rumus-rumus
tertentu, pastilah berbeda dengan menyampaikan ilmu sejarah atau ilmu bahasa.
Bentuk penyampaian pesan juga dapat beragam. Seperti lewat khotbah, drama,
puisi, surat-surat cinta, dan lainnya.
g)
Peristiwa (Event)
Peristiwa tutur tentu sangat beragam. Hal ini ditentukan oleh
tujuan pembicaraan itu sendiri. Peristiwa tutur seperti wawancara atau dipengadilan akan berbeda dengan
peristiwa tutur di pasar.
h)
Tempat dan waktu (Setting)
Keberadaan tempat, waktu, dan hubungan antara keduanya, dalam suatu
peristiwa komunikasi dapat memberikan makna tertentu. Di mana suatu tuturan itu berlangsung; di pasar, di kantor, dan
lainnya. Demikian juga, kapan suatu tuturan
itu berlangsung; pagi hari, siang hari, suasana santai, resmi, tegang, dan
lainnya.
2)
Konteks Pengetahuan
Schiffirin (2007: 549) mengatakan bahwa
teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks dalam istilah pengetahuan,
yaitu apa yang mungkin bisa diketahui oleh antara si pembicara dengan mitra tutur dan bagaimana pengetahuan tersebut
membimbing/menunjukkan penggunaan bahasa dan interpretasi tuturannya. Artinya
ketika pembicara dan mitra tutur memiliki kesamaan pengetahuan akan apa yang
dibicarakan atau dapat juga disebut common ground, maka kesalahpahaman
atau ketidaktepatan interpretasi tidak akan terjadi.
Imam Syafi’e (1990: 126) menambahkan bahwa, apabila
dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat
macam, yaitu:
a)
Konteks linguistik, yaitu kalimat-kalimat di dalam
percakapan.
b)
Konteks epistemis, adalah latar belakang pengetahuan
yang sama-sama diketahui oleh partisipan.
c)
Konteks fisik, meliputi tempat terjadinya percakapan,
objek yang disajikan di dalam percakapan dan tindakan para partisipan.
d)
Konteks sosial, yaitu relasi sosio-kultural yang
melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.
Keempat konteks tersebut memengaruhi kelancaran
komunikasi. Oleh karena itu, ciri-ciri konteks harus diidentifikasikan secara cermat, sehingga
isi pesan dalam peristiwa komunikasi dapat dipahami dengan benar. Pertama,
memertimbangkan pentingnya pemahaman tentang konteks linguistik. Karena dengan itu kita dapat memahami dasar suatu tuturan dalam
komunikasi. Tanpa mengetahui struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat
tertentu, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Namun pengetahuan tentang
struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat saja, kita tidak dapat
berkomunikasi dengan baik. Kemampuan tersebut harus dilengkapi dengan
pengetahuan konteks fisiknya, yaitu dimana komunikasi itu terjadi dan apa objek
yang dibicarakan. Kemudian, ditambah dengan pengetahuan konteks sosial, yaitu
bagaimana hubungan pembicara dengan pendengar dalam lingkungan sosialnya.
Terakhir harus memahami hubungan epistemiknya, yaitu pemahaman atau pengetahuan
yang sama-sama dimiliki oleh pendengar dan pembicara.
Oleh karena itu, uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan
(wacana) menunjukkan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberikan
bantuan untuk menafsirkan suatu wacana. Simpulannya, secara singkat dapat
dikatakan: in language, context is
everything. Dalam berbahasa (berkomunikasi) konteks adalah segalanya.
B.
Hubungan Antara Teks, Ko-Teks Dan Konteks Dalam Kajian Wacana
Dilihat dari
hakikat teks seperti yang telah dikemukakan di atas, teks merupakan esensi
wujud suatu bahasa. Sebuah teks bukan sekedar unit tata bahasa yang tampak,
akan tetapi teks merupakan unit semantik mempunyai satu kesatuan arti.
Kemudian, koteks adalah teks yang bersifat sejajar, koordinatif, dan memiliki
hubungan dengan teks lainnya, teks yang satu memiliki hubungan dengan teks
lainnya. Teks lain tersebut bisa berada di depan (mendahului) atau di belakang
(mengiringi). Sedangkan konteks adalah situasi atau latar terjadinya suatu
komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab atau alasan terjadinya suatu
pembicaraan/dialog/teks.
Berdasarkan
ketiga definisi dari teks, koteks, dan konteks tersebut maka dapat dikatakan
bahwa hubungan antara teks, koteks dan konteks sangatlah erat atau selalu
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya koteks dalam struktur
wacana menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan
satu dengan yang lainnya sehingga wacana menjadi utuh dan lengkap. Kemudian,
dengan adanya konteks, maka munculah sebuah wacana yang terdiri dari teks-teks.
Hal tersebut dikarenakan makna yang terealisasi di dalam teks merupakan hasil
interaksi pemakai bahasa dengan konteksnya, sehingga konteks merupakan wahana
terbentuknya teks. Contohnya: Ada sebuah wacana dalam bentuk tulisan yang
digantungkan di lorong akhir suatu jalan kampung.
“Terima kasih.”
Wacana
itu jelas-jelas merupakan wacana potongan. Makna dan interpretasi apa yang
dapat diambil dari gantungan tulisan itu? Ternyata ada wacana atau teks
lain yang sebelumnya tergantung di
lorong masuk jalan kampung tersebut, yaitu:
“Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.”
Wacana “Jalan
pelan-pelan! Banyak anak-anak.” Adalah peringatan bagi orang yang akan melewati
lorong kampung itu. Apabila para pejalan telah menaatinya, misalnya dengan
memerlambat laju kendaraannya, maka wacana “Terima kasih.” adalah suatu ucapan
yang diberikan masyarakat kepada para pengguna jalan (lorong) tersebut. Inilah
yang dinamakan pertalian antara teks satu dengan yang lainnya. Salah satu teks
tersebut berkedudukan sebagai koteks.
Kaitannya
dengan konteks, kedua teks tersebut tidak akan muncul atau digantung di lorong
tersebut jika tidak ada konteks yang melatarbelakangi penduduk, mungkin
orangtua atau ketua RT untuk melakukannya. Ternyata, penduduk di lingkungan
lorong tersebut banyak yang memiliki anak balita (di bawah 10 tahun) yang
sering lalu lalang untuk bermain tanpa memerhatikan pejalan (yang membawa
kendaraan) yang melintas di lorong tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa teks adalah semua bentuk
bahasa, bukan hanya kata- kata yang tertulis di lembar kertas, tetapi semua
jenis ekspresi kemunikasi, ucapan, gambar, dan sebagainya yang masing- masing saling bersangkutan.Koteks adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai
keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Sedangkan konteks
adalah memasukkan semua situasi dan hal yang berbeda di luar teks dan
mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana
teks tersebut dipiroduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Teks,
ko-teks, dan konteks sangat erat hubungannya tidak bisa dipisahkan karena tanpa
teks, ko-teks, dan konteks tidak akan menjadikan wacana tersebut utuh dan
lengkap.
B.
Saran
Kehadiran paparan mengenai teks,
ko-teks dan konteks
ini dalam bahasa Indonesia sangat penting untuk menambah pemahaman dan wawasan
mengenai teks, ko-teks, konteks dalam wacana bahasa indonesia. Dalam mempelajari tentang teks,
ko-teks dan konteks,
sangat perlu ditambah dengan referensi yang memadai, sehingga mampu memberikan
gambaran yang lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Schiffrin,
Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eriyanto.
2011. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang.
KBBI Offline 1.3
Youpika, Fitra dan Fiernandto Seftiawan. 2014. Teks, Koteks,
Konteks dan Hubungan Ketiganya dalam Kajian Wacana. Diakses pada tanggal
07-03-2015 di alamat blog: http://fitrayoupika.blogspot.com/2014/11/teks-koteks-konteks-dan-hubungan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar