Minggu, 14 Juni 2015

HAKIKAT WACANA BI

Pengertian Wacana

Istilah wacana berasal dari bahasa sansakerta wac/wak/vak, artinya berkata berucap (Douglas, 1976:262). Menurut Webster wacana diartikan sebagai ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratannya harus dalam satu rangkaian (connected) dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat. Menurut Tarigan (dalam Djajasudarma, 1994:5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat  atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata. Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang lengkap dan disusun secara teratur dan membentuk suatu makna.
Wacana menurut Harimurti Kridalaksana (Kamus Linguistik, 2011: ) yaitu satuan satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi, dan terbesar.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, wacana adalah satuan gramatikal yang merupakan tataran linguistik tertinggi. Atau dapat dikatakan bahwa, wacana adalah satuan bahasa yang utuh dan mencakup satu kesatuan yang saling berhubungan secara padu, baik berupa wacana lisan maupun tulisan.

HAKIKAT ANALSIS WACANA TEORI VAN DJICK


Dari sekian banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Analisis wacana kritis model van Dijk bukan hanya semata-mata mengalisis teks, tapi juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks yang dianalisis. Van Dijk menggambarkan wacana dalam tiga dimensi atau bangunan yaitu : teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
Inti analisisnya adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Pada  dimensi teks yang diteliti bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita, yang melibatkan kognisi individu dari wartawan atau redaktur. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat  akan suatu masalah yang mempengaruhi kognisi wartawan atau redaktur. Namun, dalam analisis ini penulis tidak membahas ketiga dimensi tersebut. Penulis hanya fokus pada analisis teks saja.
Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif-kualitatif dengan dasar  penelitian mengunakan metode analisis wacana kritis Teun A. van Dijk. Data deskriptif adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran laporan penyajian. Oleh karena sifatnya berhubungan dengan  kata-kata dan perilaku orang, maka pendeskripsian menjadi sangat penting untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang lebih jelas atas masalah yang dibahas. Proses interpretasi dilakukan, yaitu menafsirkan data guna mengungkapkan makna-maknanya sebagai bagian dari analisis.
Analisis teks terdiri atas beberapa struktur/ tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ada tiga tingkatan dalam analisis teks: struktur makro, superstruktur dan struktur mikro.
1.      Struktur Makro (Tematik).  Elemen tematik merupakan makna global (global meaning) dari satu wacana. Tema merupakan gambaran umum mengenai pendapat atau gagasan yang disampaikan seseorang atau wartawan. Tema menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita.
2.      Superstruktur  (Skematik/ Alur) : Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk satu kesatuan arti. Sebuah berita terdiri dari dua skema besar. Pertama summary yang ditandai dengan judul dan lead. Kemudian kedua adalah story yakni isi berita secara keseluruhan.
3.      Struktur Mikro.  Struktur ini terdiri atas :
a)      Analisis Semantik  Tinjauan semantik suatu berita atau laporan akan meliputi latar, detail, ilustrasi, maksud dan pengandaian yang ada dalam wacana itu.
1.      Latar : Latar merupakan elemen wacana yang dapat mempengaruhi  (arti kata) yang ingin disampaikan. Seorang wartawan ketika menyampaikan pendapat biasanya mengemukakan latar belakang atas pendapatnya. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana khalayak hendak dibawa.
2.      Detail: Elemen ini berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan oleh seorang wartawan. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya akan membuang atau menampilkan dengan jumlah sedikit infomasi yang dapat merugikan citra dan  kedudukannya.
3.      Maksud : elemen ini melihat apakah teks itu disampaikan secara eksplisit atau tidak. Apakah fakta disajikan secara telanjang, gamblang atau tidak. Itulah masuk karegori elemen maksud dalam wacana.
4.      Praanggapan : strategi lain yang dapat memberi citra tertentu ketika diterima khalayak. Elemen ini pada dasarnya digunakan untuk memberi basis rasioal, sehingga teks yang disajikan komunikator tampak benar dan meyakinkan. Praanggapan hadir untuk memberi pernyataan yang dipandang terpecaya dan tidak perlu lagi dipertanyakan kebenarnnya karena hadirnya pernyatan tersebut.
b)     Analisis Kalimat (Sintaksis). Strategi wacana dalam level sintaksis adalah sebagai berikut  :
1.      Koherensi : adalah jalinan atau pertalian antar kata, proposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau proposisi yang mengambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan memakai koherensi. Sehingga dua fakta tersebut dapat menjadi berhubungan.
§   Koherensi sebab akibat. Koherensi sebab akibat dengan mudah dapat kita lihat dari   pemakaian kata penghubung yang dipakai untuk menggambarkan dan menjelaskan hubungan, atau memisahkan suatu proposisi dihubungkan dengan bagaimana seeorang memaknai sesuatu yang ingin ditampilkan pada khalayak pembaca.
§   Koherensi Penjelas. Koherensi penjelas ditandai dengan pemakaian anak  kalimat sebagai penjelas. Bila ada dua proposisi, proposisi kedua adalah penjelas atau keterangan dari proposisi pertama.
§   Koherensi pembeda. ini berhubungan dengan pertanyaan     bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua peristiwa dapat dibuat  seolah-olah saling bertentangan dan berseberangan (contrast). Kata sambung yang biasa dipakai untuk membedakan dua proposisi ini adalah ”dibandingkan’, dibanding, ketimbang.
2.      Pengingkaran :  bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Pengingkaran menunjukkan seolah-olah wartawan menyetujui sesuatu tapi hakikatnya tidak menyetujuinya.
3.      Bentuk kalimat :  berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Dalam kalimat yang berstruktur aktif seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya.
4.      Kata ganti : alat untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan elemen yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana.
c)      Analisis Leksikon (Makna Kata)
Dimensi leksikon melihat makna dari kata. Unit pengamatan dari leksikon adalah kata-kata yang dipakai oleh wartawan dalam merangkai berita atau laporan kepada khalayak. Kata-kata yang dipilih merupakan sikap pada ideologi dan sikap tertentu. Peristiwa dimaknai dan dilabeli dengan kata-kata tertentu sesuai dengan kepentingannya.
d)     Stailistik (Retoris).
1.      Gaya Penulisan: deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi.  
2.      Grafis: pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah,  huruf yang dibuat ukuran lebih besar, termasuk pula, caption, raster, grafik, gambar atau tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.






POKOK PERMASALAHAN KAJIAN WACANA




1.    Kajian Wacana
Kajian merupakan suatu kajian disiplin ilmu yang mengkaji wacana Dalam kajian wacana terdapat beberapa macam seperti: tindak tutur, Sosiolinguistik interaksional,Kontribusi Antopologi: Gumperz, Kontruksi Sosiolog: Goffman, Sosiolinguistik Interaksional ke dalam Konteks dan Wacana, dan Pragmatik.
2.    Macam-macam Kajian Wacana
a.    Tindak Tutur
Konsep mengenai tindak ujaran (Speech Acts) dikemukakan pertama oleh John L. Austin dengan bukunya How to Do Things with Words (1962). Austin adalah orang pertama yang mengungkapkan gagasan bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui pembedaan antara ujaran konstatif dan ujaran performatif. Ujaran konstantif mendeskripsikan atau melaporkan peristiwa atau keadaan dunia. Dengan demikian, ujaran konstantif dapat dikatakan benar atau salah. Sedangkan ujaran performatif, tidak mendeskripsikan benar salah dan pengujaran kalimat merupakan bagian dari tindakan. (Austin, 1962: 5)
Austin membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu:
1)   Lokusi, yaitu semata-mata tindak bicara, tindakan mengucapkan kalimat sesuai dengan makna kata atau makna kalimat. Dalam hal ini kita tidak mempermasalahkan maksud atau tujuan dari ujaran tersebut. Misal ada orang berkata “saya haus” artinya orang tersebut mengatakan dia haus.
2)   Ilokusi, yaitu tindak melakukan sesuatu. Di sini kita berbicara mengenai maksud, fungsi dan daya ujaran yang dimaksud. Jadi ketika ada kalimat ”saya haus” dapat memiliki makna dia haus dan minta minum.
3)   Perlokusi, adalah efek yang dihasilkan ketika penutur mengucapkan sesuatu. Misalnya ada kalimat ”saya haus” maka tindakan yang muncul adalah mitra tutur bangkit dan mengambilkan minum.
J.R. Searle kemudian menerbitkan buku Speech Acts yangmengembangkan hipotesa bahwa setiap tuturan mengandung arti tindakan.Tindakan ilokusioner merupakan bagian sentral dalam kajian tindak tutur. Ada lima jenis ujaran seperti yang diungkapkan oleh Searle (1969) antara lain:
a. Representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kebenaran atas apa yang dikatakan (misal: menyatakan, melaporkan, mengabarkan, menunjukan, menyebutkan).
b. Direktif, tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar mitra tutur melakukan apa yang ada dalam ujaran tersebut (misalnya: menyuruh, memohon, meminta, menuntut, memohon).
c. Ekspresif, tindak ujaran yang dilakukanss dengan maksud ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan pada ujaran tersebut (misalnya: memuji, mengkritik, berterima kasih).
d. Komisif, tindak ujaran yang mengikat penutur untuk melakukan seperyi apa yang diujarkan (misalnya bersumpah, mengancam, berjanji).
e. Deklarasi, tindak ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal yang baru (misalnya memutuskan, melarang, membatalkan).
Ada kalanya tempat, waktu, suasana, peristiwa, dan keberadaan orang tertentu dimanfaatkan oleh seseorang untuk mendukung dan menunjang keberhasilan tuturan yang dilakukannya kepada mitra tuturnya. Pemanfaatan konteks untuk mendukung keberhasilan tujuan tuturan inilah yang dimaksudkan dengan pendayagunaan konteks yaitu sebagai berikut:
3.    Sosiolinguistik interaksional
Sosiolinguistik interaksional adalah pandangan atau lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan masalah sosiolinguistik interaksional. Dalam bagian ini, Deborah mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik interaksional. Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Kontribusi Antopologi: Gumperz
Dalam sebagian besar pendahuluan koleksi essai akhirnya (Discourse Strategies), Gumperz menyatakan bahwa dia “mencari pengembangan tafsir ancangan sosiolinguistik ke arah analisis prosese waktu nyata dalam pertemuan semuka”.
Teori komunikasi verbal yang diajukan oleh Gumperz memerlukan penambahan konsep dan prosedur analitis yang terbangun dari agasan awalnya tentang kultur, sosial, bahasa, dan penutur. Satu konstruk baru adalah isyarat kontekstualisasi. Isyarat kontekstualisasi dikaitkan pada dua konsep lain: prasangka kontekstual dan tempat inferensi.
Kunci dari sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz adalah pandangan bahasa yang secara sosial dan kultural dikonstruk sistem simbol yang digunakan sebagai cara yang merefleksikan makna sosial level-mikro (misal; identitas kelompok, perbedaan status) dan menciptakan makna sosial level-makro (apakah seseorang menuturkan da melakukan pada waktu yang tepat). Penutur adalah anggota kelompok sosial dan kultural: cara kita menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan identitas, dasar kelompok kita tetapi juga memberikan indikasi kontinu semacam siapa kita, kita ingin berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana melakukan. Kecakapan memproduk dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan mereka tampak, dan dipengaruhi oleh, konteks lokal merupak bagian kompetensi komunikatif kita. Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut ini, kerja Erving Goffman juga berfokus pada pengetahuan ditempatkan, penutur, dan konteks sosial, tetapi berbeda cara dan berbeda penekanan.      
Kontruksi Sosiolog: Goffman
Adalah seorang tokoh yang  juga memberi kontribusi ke arah pengembangan sosiolinguistik interaksional adalah kerja Erving Goffman.Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus pada intraksi sosialnyamelengkapi fokus Gumperzpada situasi penarikan simpulan. Goffman meletakan bahasa (dan sistem tanda lain) dalam konteks sosial dan interpersonal yang sama seperti penetapan presaposisi temuan Gumperz merupakan latar belakang yang penting untuk memahami makna. Ada tambahan dari Goffman, yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks yang membiarkan kita agar lebih penuh mencirikan dan menghargai dugaan kontekstual yang tergambar dalam dugaan mitra tutur terhadap makna penutur. Sosiologi Goffman mengembangkan gagasan beberapa ahli teori sosiologi klasik dan mengaplikasikannya  untuk ranah kehidupan sosial yang kompleksitas strukturalnya (sebelum kerja Goffman) secara luas berlangsung tanpa terperhatikan: interaksi sosial bersemuka.
Kerja Goffman sebagaimana memberikan elaborasi praduga kontekstual bahwa orang menggunakan dan mengonstruk selama proses menduga, dan sebagai tawaran pandangan makna dengan cara praduga tersebut secara eksternal dionstruk dan menentukan keterikatan-keterikatan eksternal pada cara-cara kita memahami pesan. Sebagian besar kerja Goffman yang terakhir pada penutur (1974; 1979) terbagun atasa pembagian awalnya melokasikan penutur di dalam kerangka kerja partisipan seperangkat posisi yang individu di dalam batas perseptual tuturan berada dalam hubungan ke arah tuturan tersebut. Goffman membedakan empat posisi atau status partisipan: Animator, Author, Figure, dan Prinsipal. Animator memproduk tuturan, Author menciptakan tuturan, Figure dipotret lewat tuturan, dan Prinsipal merespon tuturan.
4.    Etnografi komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards dkk.,1985).
Semula etnografi komunikasi (etnography of communication) disebut etnografi wicara atau etnografi pertuturan (ethnograpliy of speaking).Kalau etnografi itu dipandang sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, model pemerian etnografi itu bisa diterapkan dan difokuskan kepada bahasa masyarakat atau kelompokmasyarakat tertentu.Karena sosiolinguistik itu lebih banyak mengungkapkan pemakaian bahasa, dan bukan ihwal struktur bahasa, maka etnografi tentang bahasa difokuskan kepada pemakaian bahasa dalam pertuturan atau lebih luas lagi komunikasi yang menggunakan bahasa.
5.    Pragmatik
Pragmatik adalah sebuah ancangan yang menguraikan tiga konsep (makna, konteks, komunikasi) yang sangat luas dan rumit (Debora, 2007: 268). Tidak mengherankan bahwa lingkup pragmatik yang begitu luas, sehingga bidang kajian ini mengalami banyak dilema yang serupa dengan yang dihadapi analisis wacana. Salah satu tipe khusus pragmatik adalah model Grice yang beberapa definisinya mencakup banyak bidang yang sama dengan analisis wacana. Teori ini juga menjadi “pusat penelitian pragmatik” (Fasold, 1990: 128).
6.    Anlisis Percakapan
Pada dasarnya percakapan adalah manifestasi penggunaan bahasa untuk berinteraksi. Mey (2001: 137) berpendapat bahwa wujud penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah isi, yaitu aspek yang memperhatikan hal-hal seperti topik apa yang didiskusikan dalam percakapan; bagaimana topik disampaikan dalam percakapan: apakah secara eksplisit, melalui presuposisi, atau diimplisitkan dengan berbagai macam cara; jenis topik apa yang mengarah pada topik lain dan apa alasan yang melatarbelakangi hal semacam ini terjadi, dsb. Selain itu, fokus lain dari aspek ini adalah organisasi topik dalam percakapan dan bagaimana topik dikelola, baik disampaikan dengan cara terbuka maupun dengan manipulasi secara tertutup: biasanya dalam bentuk tindak ujar taklangsung. Kedua adalah aspek formal percakapan. Fokus utama dalam aspek ini adalah hal-hal seperti bagaimana percakapan bekerja; aturan-aturan apa yang dipatuhi; dan bagaimana sequencing ‘keberurutan’ dapat dicapai (memberikandan memperoleh giliran atau mekanisme turn-taking, jeda, interupsi, overlap, dll.).
Bila dilihat dari sudut pandang historis, analisis percakapan muncul ditengah-tengah kebingungan teoretis setelah munculnya revolusi linguistik yang digagas oleh Chomsky di akhir tahun 50an dan di awal tahun 60an. Analisis percakapan ini diprakarsai oleh sekelompok orang pemerhati bahasa nonprofesional (para sosiolog seperti Sacks, Schegloff, dan Jefferson). Mereka melihat bahwa contoh-contoh bahasa yang diberikan oleh para linguis profesional seringkali tidak alami, bahkan sebagian dari contoh-contoh ujaran tersebut tidak muncul dalam percakapan yang alamiah. Kemudian, mereka pun menemukan bahwa aturan-aturan yang dipatuhi dalam percakapan lebih mirip dengan aturan-aturan yang dipakai masyarakat dalam aktivitas sosial daripada dengan aturan-aturan yang terdapat dalam linguistik.
7.    Kajian Analisis Variasi
Ancangan wacana variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi linguistic. Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks. Kami melihat bahwa unit dasar narasi adalah peristiwa, unit dasar daftar adalah kesatuan. Informasi utama daftar adalah deskriftif. Pembandingan tersebut merefleksikan tendensi variasiois terhadap tuturan wacana dalam istilah yang sama yang digunakan dengan orientasi linguistic secara structural: “unit-unit” beranak-pihak ke arah konstituen: “informasi” dalam pengertian proposional (meskipun fakta bahwa proposisi sendiri memilki interpretasievaluative);”struktur” adalah aturan sintagmatis dan paradigmatis dari unit-unit dalam pola-pola berula.